Translate

PERANG GUDANG BATU PERTAMA - BANTEN - PART II



Salah seorang putri terkasih Ki Wakhia yang sedang meningkat remaja, terkenal menjadi kembang Desa Gudang Batu. Namanya Nyi Mas Johar Manikam. Entah kenapa, dari sejak kecil Nyi Mas Johar Manikam sangat menyukai warna hijau. Begitu sukanya ia dengan warna kesayangannya. Bahkan, hingga remaja putri pun, Nyi Mas Johar Manikam hampir setiap hari mengenakan pakaian berwarna hijau. Karena itu, penduduk Gudang Batu memanggilnya dengan nama julukan Nyi Mas ljo. Dapat diartikan, hijau dalam bahasa Serang. bermakna ijo, yaitu warna kesukaan Nyi Mas Johar Manikam.
Ketika itu, usia Nyi Mas ljo, bak bunga sedang mekar‑mekarnya. Segar dan indah, baunya yang semerbak harumnya seperti menggoda kumbang, yang tergiur mengisap madunya. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya yang kuning langsat selalu tampak bersih dan bercahaya. Rambutnya hitam gempal terurai panjang sebatas pinggang, serasi sekali dengan orangnya. Parasnya cantik luar biasa, dihiasi dengan sepasang lesung pipit di kedua pipinya yang montok, menambah kecantikannya menjad.i semakin menawan. Bibirnya yang selalu basah, tampak merekah laksana buah tomat, membuat setiap pemuda yang memandangnya menjadi geregetan. Bentuk tubuhnya yang menggiurkan, disertai lekuk‑lekuk indah seperti mengundang daya tarik khusus, yang menyebabkan banyak pemuda terpaksa menelan air ludah berkali‑kali.
"Kalau saja ia mau menjadi istriku, aku rela menjadi tukang masaknya seumur hidup." Kata seorang pemuda sambil duduk melamun, ia sedang membayangkan keindahan tubuh Nyi Mas ljo yang membuatnya sering tak dapat tidur.
"Enak saja kau bicara, mengaca dulu kawan. Perempuan mana yang mau dengan tampangmu yang cacingan itu." Ujar temannya sambil bergurau.
"Jangan menghina Bung, siapa bilang. Buktinya, si Munah sampai keedanan dan mengajakku kawin." Jawab pemuda yang pertama tadi.
"Tentu saja, dia kan perempuan buta." Ucap yang lainnya menimpali.
"Ha. . ., ha. . ., ha. . ." Maka terdengarlah tertawa mereka yang riuh sekali.
Begitulah suasana kehidupan para pemuda Gudang Batu waktu itu. Tidak sedikit pemuda yang mabuk kepayang dan merindukan kecantikan Nyi Mas Ijo. Hampir setiap hari ada saja yang mereka perbincangkan tentang Nyi Mas Ijo, seperti tak pernah bosan‑bosannya. Kendatipun begitu, tak seorangpun yang berani bersikap kurangajar kepada Nyi Mas ljo, mereka sangat menaruh hormat pada ayahnya.

Rupanya kemolekan paras putri Ki Wakhia, tidak saja tersohor di Desa Gudang Batu serta daerah sekitarnya. Tetapi sampai juga ke kantor Residen Banten di Serang. Suatu hari, Tuan Meyer seorang pria Belanda yang bekerja di kantor Residen Banten, mendapat tugas dari atasannya mengontrol ke Weringin Kurung. Di tengah perjalanan, pria Belanda itu secara kebetulan bersua dengan Nyi Mas ljo yang tengah berjalan bersama teman‑temannya sambil bersenda gurau. Tiba‑tiba saja, ia menjadi tertegun menyaksikan paras Nyi Mas ljo yang cantik jelita. Saat itu, Nyi Mas ljo mengenakan kebaya warna hijau muda dan berkain warna hijau tua kembang‑kembang. Serta berselendang biru yang dibiarkan mengikat lehernya yang jenjang. la tampak begitu anggunnya, tak ubahnya seorang putri keraton yang tengah diiringi dayang‑dayang.
Sepasang mata lelaki Belanda itu, seperti tak pernah lepas dari tubuh Nyi Mas ljo. la begitu terpesona dan seperti tak percaya, bahwa ada gadis desa yang memiliki kecantikan luar biasa. Bagaikan sekuntum bunga mawar yang mekar di tengah hutan. Hatinya berdebar keras, pertanda ia telah jatuh cinta dan tergila‑gila pada Nyi Mas ljo. Dalam benaknya, Tuan Meyer berangan‑angan. Andaikata saja ia dapat mempersunting gadis berbaju hijau yang baru saja dijumpainya itu, alangkah bahagianya hatinya. Kepada kusir sado, ditanyakannya tentang perempuan yang ditemuinya tadi yang telah merebut hatinya.
"Namanya Nyi Mas ljo Tuan, ia memang cantik. Kabarnya, banyak pemuda yang merindukannya." Jawab kusir sado menjelaskan.
"Oh!, cantik ya." Hanya kalimat itu yang terdengar dari mulut lelaki Belanda itu.
la seperti setengah sadar mengucapkannya. Sementara, kusir sado hanya tersenyum dikulum, melihat tingkah majikannya yang aneh itu. Dalam hatinya, ia mentertawakan majikannya yang mulai tergila‑gila pada Nyi Mas ljo.
"Rasakan, kau," Katanya mengumpat dalam hati.
Selesai menjalankan tugas ke Weringin Kurung, dengan tergesa‑gesa Tuan Meyer memerintahkan kusir sado mampir ke rumah penghulu Weringin Kurung. Tampaknya ada sesuatu yang akan dibicarakan dengan penghulu. Dilihatnya, penghulu tengah duduk seorang diri di ruang tamu sambil menikmati rokoknya. Lelaki Belanda itu memang sudah lama mengenalnya.
"Silahkan masuk Tuan." Sapa penghulu sambil berdiri dari duduknya, dengan membungkukkan badannya ia mempersilah tamunya masuk.
"Terima kasih, apa kabar penghulu?"Tegur pria Belanda itu.
"Baik, Tuan." Jawab tuan rumah singkat.
"Apakah ada yang perlu saya bantu, Tuan." Tanya penghulu menawarkan jasa baiknya.
"Mooi!, jij memang teman yang baik. Begini penghulu, kalau jij bisa bantu saya, nanti jij saya usulkan naik pangkat en gaji yang besar, mengerti." Kata tamunya dengan nada bersungguh‑sungguh.
"Terima kasih Tuan, ada persoalan apakah gerangan." Ucap penghulu dengan perasaan gembira. Dasar penjilat ia membayangkan janji Belanda itu yang akan memberikan kedudukan yang enak.
Lelaki Belanda itu kemudian mengutarakan maksudnya, ia meminta tolong kepada penghtilu untuk melamar Nyi Mas ljo, yang akan dijadikan istrinya. Mendengar penuturan tamunya, penghulu terdiam beberapa saat lamanya.
"Bagaimana penghulu, apa jij bisa atur." Tanyanya meminta kepastian dari tuan rumah.
"Bisa Tuan, besok saya akan menemui Ki Wakhia untuk membicarakannya." Ucap penghulu menyanggupi.
"Mooi!, nanti jij kasih kabar secepatnya, Ya!. En penghulu dapat langsung naik itu pangkat." Katanya dengan perasaan puas, ia kernudian minta diri pulang ke Serang.
Sepeninggal tamunya, penghulu Weringin Kurung berfikir keras memutar otaknya. Permintaan tamunya tadi, sebenarnya bukan pekerjaan yang ringan. Tetapi, karena ia tergiur dengan janji akan dinaikkan pangkatnya. Akhirnya, diputuskan juga besok pagi ia akan ke rumah Ki Wakhia melamar Nyi Mas Ijo.
'Tidak sari‑sarinya, sepagi ini penghulu sudah berkunjung kemari." Tegur Ki Wakhia menyapa tamunya.
"Mohon maaf sebelumnya, saya telah lancang mengganggu kiyai." Jawab penghulu agak ragu.
"Tidak apa jangan sungkan‑sungkan, utarakan saja maksud kedatanganmu." Kata Ki Wakhia dengan sabarnya.
"Begini kiyai, kedatangan saga kemari, ingin menyampaikan maksud baik dari teman saya seorang Belanda. la sangat menaruh hati serta mencintai putri kiyai yaitu Nyi Mas ljo. Untuk itu, saya atas namanya bermaksud melamar putri kiyai untuk menjadi istrinya." Secara panjang lebar, penghulu menjelaskan niat yang terkandung di hatinya kepada Ki Wakhia.
Mendengar penuturan tamunya, Ki Wakhia termangu di tempat duduknya. Ucapan penghulu itu, amat mengejutkan hatinya. Ki Wakhia merasa tersinggung dan marah bukan main, tersirap darahnya menahan rasa geram. Penghulu itu dianggapnya keterlaluan sekali, berani melamar putrinya untuk diberikan pada orang Belanda yang sangat dibencinya. la seperti tak memandang sebelah mata pun pada tuan rumah. Namun, Ki Wakhia mencoba menentramkan hatinya. Hanya raut mukanya saja yang terlihat berubah menjadi merah padam. Membuat ciut nyali penghulu Weringin Kurung, menyaksikan perubahan pada wajah Ki Wakhia.
"Apa sudah dipikirkan matang‑matang, niatmu melamar putriku, penghulu." Sapanya dengan suara agak ketus.
"Su. . ., sudah kiyai." Jawab penghulu gugup.
"Sebaiknya, batalkan saja tentang rencanamu melamar putriku." Tegur Ki Wakhia seperti menyesalkan, apa yang telah diperbuat penghulu barusan.
Sorot matanya berkilat menatap ke arah tamunya penuh selidik. Wajah penghulu Weringin Kurung mendadak pucat, ngeri juga ia melihat sikap Ki Wakhia yang tampak angker itu. Tapi dipaksakan juga memberanikan diri membuka mulutnya.
'Tapi, maksud saya. . .".
"Cukup, tidak perlu diteruskan ucapanmu. Dengar. baik‑baik penghulu, sampaikan jawabanku pada si Belanda lancang itu. Aku menolak lamarannya dan anakku tidak akan pernah kawin dengan orang Belanda." Bentak Ki Wakhia dengan suara keras.
"Ba. . ., baik kiyai, akan saya sampaikan." Jawab penghulu sambil minta diri, ia kemudian berlalu dengan tergopoh‑gopoh meninggalkan rumah Ki Wakhia.
Hari itu juga penghulu Weringin Kurung melaporkan kegagalannya melamar Nyi Mas [jo ke Serang. Mendapat berita yang tak menyenangkan itu, Tuan Meyer menjadi berang. Dibantingnya kakinya berkali‑kali ke atas lantai untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Mukanya yang merah tampak semakin menyala‑nyala menahan rasa geram yang menggumpal. la kemudian bangkit dan berjalan hilir mudik sambil mulutnya tak hentinya mencaci maki.
"Verdom zeg!, berani dia menolak lamaran ik, ya!. Apa sudah bosan hidup?" Katanya mengumpat sejadi‑jadinya.
"Saya sudah berusaha Tuan, tapi Ki Wakhia tetap menampiknya." Ujar penghulu membela diri.
"Dom!, jij terlalu banyak bicara, tapi jij kerja tidak baik, itu saya tidak suka. En Ki Wakhta harus diajar adat, biar dia tahu akibatnya melawan orang Belanda, ya!" Dampratnya sambil uring‑uringan.
Ancaman pr!a Belanda yang sedang dimabuk asmara itu ternyata tidak main-main. Perasaan kecewa yang teramat dalam, memang dapat membuat orang menjadi lupa diri. Segala cara akan ditempuhnya, untuk melampiaskan kekecewaan hatinya yang sedang kacau. Seperti yang dilakukan pria Belanda itu, ia kemudian menyewa dua orang jagoan yang dibayarnya untuk membunuh Ki Wakhia. Yang dianggapnya sebagai penyebab kegagalan mempersunting Nyi Mas Ijo.

Pagi itu, seperti biasanya. Ki Wakhia terlihat berada di tengah kebunnya yang cukup luas. Ulama yang satu ini memang agak lain tabiatnya, kendatipun dia dikenal sebagai seorang ulama yang amat kaya dan tak pernah kekurangan. Namun Ki Wakhia tak suka berpangku tangan apalagi berleha‑leha. Kalau tak ada urusan penting yang memaksanya tinggal di rumah, pagi‑pagi sekali ia sudah pergi ke ladang untuk bekerja. Seperti yang terlihat pada pagi hari itu, Ki Wakhia tampak sedang asyik mengayunkan cangkulnya dengan penuh semangat. Mata cangkulnya membelah tanah keras satu demi satu di bawah cahaya matahari yang menyengat tubuhnya. Pakaian yang dikenakannya tampak basah bermandikan keringat yang mengalir deras di sekujur tubuhnya yang tegap dan kekar.

Tiba‑tiba saja; Ki Wakhia menghentikan pekerjaannya, jidatnya yang lebar tampak berkerut seperti ada sesuatu yang mengganggu dan menarik perhatiannya. Sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi, hati kecilnya mengatakan bahwa pada saat itu, ada dua pasang mata yang memperhatikan gerak‑geriknya tak jauh dari tempatnya berdiri. Ki Wakhia kemudian menolehkan kepalanya ke arah rerimbunan alang‑alang yang tumbuh di sebelah kanannya, jaraknya hanya sekitar sepuluh meter. Matanya yang tajam dapat memastikan bahwa tamu yang tak diundang itu, yang bermaksud tidak baik terhadap dirinya, bersembunyi di balik alang‑alang itu.

Dugaan Ki Wakhia memang tidak meleset. Saat itu, ada dua orang jagoan tengah mengintainya dari balik rerumputan yang tinggi dan lebat. Keduanya sedang mencari kesempatan yang baik untuk menghabisi nyawanya. Tapi mereka terlalu memandang enteng lawannya, rupanya mereka belum tahu akan kehebatan ulama yang berada di depannya. Ki Wakhia sebenarnya telah maklum akan bahaya yang setiap saat mengancam dirinya. Namun ia menanggapinya dengan penuh ketenangan yang amat mengagumkan, seperti tak pernah terjadi sesuatu. Hanya senyumnya yang penuh arti tampak menghias pada wajahnya. Kedua tangan Ki Wakhia disilangkan di atas dadanya, lalu mulutnya berkomat‑kamit membaca mantera ditujukan kepada kedua orang jagoan itu.

Kemudian terjadi suatu keajaibah yang luar biasa, entah bagaimana mulanya. Tapi yang jelas, kedua jagoan itu lalu saling berkelahi seperti menghadapi musuh saja. Mereka saling pukul, saling banting serta menendang sekenanya. Pertarungan keduanya tampak seru sekali, sama kuatnya dan sama gesitnya. Menyaksikan perkelahian kedua orang jago itu, Ki Wakhia tak bereaksi apa-apa. la malah pergi meninggalkan mereka berjalan pulang ke rumahnya. Sekitar jam 10.00 siang Ki Wakhia tiba di rumah, ia disambut oleh putri kesayangannya dengan penuh tanda tanya.
"Tumben, sepagi ini sudah pulang Pak. Ada apa kiranya."Sapa Nyi Mas Ijo bertanya.
"Tidak apa‑apa anakku, hanya ada dua orang tamu menunggu di kebun. Jawab Ki Wakhia singkat.
"Tamu dari mana Pak." .Tanya Nyi Mas ljo ingin tahu.
"Kalau tidak salah mereka datang dari Serang. Kasihan, kelihatannya mereka belum makan. Anakku, antarkan nasi serta lauk pauknya untuk tamu kita di kebun." Ujar Ki Wakhia.
"Baik Pak." jawabnya sambil berlalu meninggailkan ayahnya.
Ketika Nyi Mas ljo tiba di kebun ayahnya sambil membawa bungkusan makanan. la menjadi terkejut menyaksikan dua orang pria tengah berkelahi dengan serunya. Tapi beberapa detik kemudian, Nyi Mas Ijo sadar, rupanya tamu yang dimaksudkan ayahnya tadi adalah kedua lelaki yang tengah bertempur itu. la baru mengerti sekarang, perkelahian mereka tentunya karena ulah ayahnya.
"Hentikan!, sampai sore pun kalian tidak akan ada yang menang." Teriak Nyi Mas ljo mengingatkan keduanya.
Begitu ditegur oleh Nyi Mas Ijo, mendadak keduanya menghentikan perkelahian. Lalu mereka saling pandang, tak ubahnya seperti orang bodoh. Keduanya baru sadar bahwa tadi mereka telah berkelahi dengan teman sendiri tanpa disadari. Dan juga tanpa mereka kehendaki, seperti ada suatu tenaga gaib yang mendorong keduanya untuk bertempur. Mereka telah berusaha untuk menghentikan gerak tangan dan kaki yang meluncur begitu saja tak terkendalikan. Tapi segala upaya yang mereka lakukan, selalu sia‑sia. Aneh, tanpa terasa keduanya menggaruk‑garuk kepala yang tidak gatal.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan, lebih baik kalian makan dulu. Sebentar lagi kalian akan saya antar menemui ayahku." Kata Nyi Mas ljo mengingatkan kedua orang jagoan itu, sambil menyodorkan bungkusan makanan yang dipegangnya.
Tanpa berkata‑kata lagi, kedua jagoan itu melahap makanan yang telah tersedia. Mungkin karena laparnya, makanan itu sedikit pun tak bersisa. Sambil memegangi perutnya yang buncit, mereka mengikuti Nyi Mas ljo dari belakang untuk menernui Ki Wakhia di rumahnya.
"Silahkan duduk, jangan sungkan‑sungkan." Ujar Ki Wakhia mempersilahkan tamunya.
'Te. . ., terima kasih kiyai."Jawab salah seorang di antara mereka agak kikuk.
"Kami berdua mohon maaf kiyai, atas kekurangajaran kami." Kata jagoan yang pertama, seperti menyatakan penyesalannya.
"Oh, tidak apa. Hanya saja, rasanya hati ini masih penasaran. Ada persoalan apakah yang menyebabkan kalian berniat membunuhku." Tanya Ki Wakhia dengan suara yang amat berpengaruh.
Mendengar pertanyaan yang diajukan tuan rumah, kedua jagoan itu menundukkan kepala dengan tersipu‑sipu. Sedikit pun mereka tak mengira, bahwa orang yang akan mereka bunuh itu, ternyata berhati mulia dan bijaksana, tak ada rasa dendam sedikit pun tercermin pada wajah Ki Wakhia. Yang membuat mereka semakin tunduk dan malu: Maka, dengan penuh kesadaran serta penyesalan yang dalam atas kekeliruan yang telah mereka perbuat, kedua jagoan itu mengaku terus terang di hadapan Ki Wakhia, bahwa mereka sebenarnya hanya melaksanakan perintah dari seorang Belanda di Serang, untuk membunuh Ki Wakhia. Menurut mereka, pria Belanda itu menaruh dendam terhadap Ki Wakhia, karena gagal memperistri Nyi Mas Ijo. Untuk menjalankan tugas tersebut, kedua jagoan itu mengaku telah dibayar oleh orang Belanda yang belum lama dikenalnya.
"Komi sangat menyesal atas kejadian yang amat memalukan ini, oleh sebab itu, untuk menebus kesalahan yang telah karni perbuat, kami berdua berharap, kiyai dapat menerima kami menjadi murid kiyai." Demikian keduanya mengutarakan maksudnya dengan penuh rasa penyesalan dan kekaguman pada Ki Wakhia.
"Syukurlah, kalau kalian telah sadar. Dengan senang hati aku menerima kalian menjadi murid di sini." Ucap Ki Wakhia.
"Tapi, si Belanda dan penghulu Weringin Kurung itu harus diberi pelajaran yang pantas, agar tidak berbuat sewenang‑wenang terhadap orang lain." Katanya memutuskan dengan suara yang mantap.
Hari itu juga Ki Wakhia mengumpulkan seluruh para santri dan pengikutnya untuk membicarakan persoalan yang penting. Kepada semua yang hadir, secara panjang lebar diceritakan tentang permasalahan yang sedang dihadapi Ki Wakhia. Pada pertemuan tersebut, telah diputuskan untuk memberi hajaran pada si Belanda dan penghulu Weringin Kurung yang menjadi antek Belanda. Sebelum usai pertemuan, Ki Wakhia membagikan sekepal nasi yang telah diberi berkat, kepada puluhan murid dan pengikutnya yang hadir pada saat itu.
Setelah selesai acara pemberkatan, tampaknya terjadi suatu perubahan pada diri mereka. Ketika itu, timbul rasa berani yang luar biasa pada setiap murid dan pengikut Ki Wakhia. Selanjutnya dilakukan persiapan seperlunya untuk menghadapi penyerangan pertama dengan sasaran rumah penghulu Weringin Kurung.
Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di rumah penghulu Weringin Kurung. Puluhan murid dan pengikut Ki Wakhia datang menyerbu rumahnya Penghulu Weringin Kurung yang menjadi sasaran para penyerbu, diseret ke luar rumah lalu dipukuli beramai‑ramai. Setelah tubuhnya babak belur dihajar habis‑habisan, penghulu diancam agar melaporkan peristiwa itu kepada si pria Belanda di Serang. Sesudah itu para penyerbu meninggalkan penghulu Weringin Kurung yang tergeletak tak berdaya di halaman rumahnya. Untungnya, para penyerbu memegang teguh pesan terakhir Ki Wakhia yang melarang mereka melakukan pembunuhan.
Mendapat laporan yang tak menyenangkan dari penghulu Weringin Kurung yang menjadi korban amukan pengikut Ki Wakhia. Pria Belanda itu menjadi marah bukan main, dikepalnya tinjunya berkali‑kali karena menahan rasa geram yang tak tertahankan. Saat itu, ada rasa malu bercampur dendam yang menyelinap ke dalam hatinya. Betapa tidak, ternyata rencana jahatnya diketahui juga oleh Ki Wakhia yang amat dibencinya itu. Bahkan, dua orang jagoan yang dibayarnya berbalik menjadi pengikut Ki Wakhia. Untuk menutupi kebusukannya, pria Belanda itu kemudian melaporkah kejadian yang telah menimpa penghulu Weringin Kurung pada atasannya. Begitu pandainya ia membuat pengaduan sedemikian rupa, sehingga atasannya terpengaruh oleh semua kata‑katanya. Seakan‑akan Ki Wakhia dan pengikutnya berniat melakukan kekacauan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sebenarnya, pihak Belanda dari dulu agak segan berurusah dengan rakyat Gudang Batu. Akan tetapi, karena dikhawatirkan terjadi sesuatu yang dapat menggoyahkan kekuatan penjajah Belanda di Banten. Akhirnya disetujui mengirimkan pasukan Belanda ke Gudang Batu untuk menangkap Ki Wakhia dan para pengikutnya.

Sementara itu, di tempat kediaman Ki Wakhia di Gudang Batu. Sekembalinya mereka dari Weringin Kurung, dilakukan persiapan‑persiapan menghadapi serangan musuh. Menurut perkiraan mereka, dalam waktu dekat Gudang Batu akan diserbu pasukan Belanda yang datangnya dari Serang. Ketika itu, semua murid dan para pengikut Ki Wakhra berkumpul di ruangan tengah mendengarkan wejangan yang disampaikan oleh pemimpin mereka yang berbicara dengan suara lantang bergema ke seluruh ruangan.
"Murid‑muridku dan para pengikutku semua, sudah tiba saatnya bagi kita untuk berperang melawan kelaliman dan penindasan yang membuat rakyat menderita. Demi membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinan, kita berkewajiban mengusir penjajah Belanda dari tanah Banten yang kita cintai. Oleh karena itu, tunjukkan baktimu kepada rakyat, dengan bekal semangat banteng ketaton dan tekad suc'i yang tertanam di dada kita masing-masing. Dan sebagai bukti, bahwa kita punya harga diri. Mari kita perangi penjajah Belanda sampai terusir dari bumi Banten."

Begitulah petunjuk yang diberikan Ki Wakhia, ucapannya mengandung makna yang amat dalam seakan menyentuh hati setiap yang hadir. la berbicara dengan berapi‑api yang membangkitkan semangat juang para pengikutnya. Ketika pertemuan usai, dengan senjata terhunus, satu‑persatu pengikut Ki Wakhia bergerak ke perbatasan Desa Gudang Batu untuk menyongsong pasukan Belanda. Sementara itu, dari kejauhan terlihat puluhan pasukan Belanda dengan senjata lengkap bergerak maju mendekati Desa Gudang Batu. Mereka sedikit pun tidak mengira, pada waktu‑yang bersamaan, para pengikut Ki Wakhia juga bergerak ke arah depan menyambut pasukan Belanda.

Ketika kedua pasukan bertemu dan saling berhadapan di tapal batas Desa Gudang Batu. Masing‑masing pihak bersiaga menghadapi musuh dengan senjata siap di tangan. Ki Wakhia terlihat berada di barisan paling depan memimpin pasukannya, berdiri tegak dengan gagahnya. Sepasang matanya yang mengeluarkan sinar aneh, menatap penuh selidik seperti hendak mengukur kekuatan lawan. Secara tiba‑tiba, Ki Wakhia mengangkat lerigan kanannya tinggi ke atas, sebagai isyarat, memberi aba‑aba kepada para pengikutnya yang sudah tidak sabar menunggu, agar bergerak maju menyerang musuh yang berada di depan mereka. Maka, dengan didahului suara teriakan melengking panjang.
"Serbu."

Terjadilah pertempuran yang amat seru antara kedua belah pihak, suara beradunya senjata tajam berbaur menjadi satu dengan bunyi letusan senjata api yang dilepaskan pasukan Belanda. Masing‑masing pihak berusaha saling menyerang dan saling melukai tubuh lawannya. Di balik hiruk pikuknya peperangan yang semakin ramai, terdengar suara rintihan serta keluhan kesakitan di sana‑sini. Korban mulai berjatuhan satu demi satu dari kedua belah pihak. Desah nafas yang memburu meregang nyawa, seakan berpacu dengan kelebatan senjata tajam dan muntahan timah‑timah panas yang terus berlomba meminta korban.
Tampaknya para pengikut Ki Wakhia mulai terdesak oleh pasukan Belanda yang memberondong mereka dengan tembakan‑tembakan gencar. Kendatipun mereka telah dibekali dengan semangat juang yang menggebu‑gebu pantang menyerah. Namun walau bagaimanapun, dalam suatu pertempuran yang terbuka. Unsur kelengkapan senjata mutakhir, berperan sangat penting dalam menentukan suatu kemenangan. Meskipun demikian, keberanian dan keperkasaan Ki Wakhia ketika bertempur menghadapi musuh di medan laga, amat mengagumkan sekali. Tak satu pun lawan yang mampu mendekati ulama sakti itu. Desingan peluru yang berseliweran di dekatnya, tak sebutir pun yang dapat merobek tubuhnya. Luar biasa, tubuhnya seperti kebal terhadap senjata apapun. Peluru‑peluru itu seperti begitu saja menyentuh Ki Wakhia, lalu berjatuhan ke atas tanah.

Yang lebih hebat lagi, setiap kali Ki Wakhia menggerakkan kedua lengannya. Pasukan Belanda yang berusaha mengurungnya mendadak tercerai berai berpentalan ke sana‑kemari. Tak ubahnya daun‑daun kering dihempaskan angin yang bertiup amat dahsyat. Tetapi, bagaimanapun gigihnya perlawanan Ki Wakhia beserta pengikutnya, akhirnya sia‑sia saja. Pasukan Belanda yang jumlahnya jauh lebih besar, lambat laun mendesak mereka sampai ke tepi Desa Gudang Batu. Sementara, korban yang berjatuhan semakin bertambah jumlahnya. Tapi jumlah korban yang terluka dan mati di pihak Ki Wakhia jauh lebih banyak. Darah merah berceceran di sekitar medan pertempuran, menyebarkan bau yang sangat amis dan menyesakkan hidung.

Menyaksikan banyak korban yang berjatuhan di pihaknya serta posisi para pengikutnya tidak menguntungkan terkepung oleh pasukan Belanda. Ki Wakhia memerintahkan para pengikutnya mundur menjauhi lawan, sambil terus mempertahankan diri dari serangan pihak musuh. Tapi pasukan Belanda tidak memberikan kesempatan sedikitpun, mereka terus mendesak lawannya disertai letusan‑letusan gencar yang diarahkan ke sasaran. Situasi semakin kacau, para pengikut Ki Wakhia menjadi panik dibuatnya. Ketika itu, yang terlintas di benak mereka, hanya menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Belanda. Tetapi, karena keadaan sudah semakin tidak menentu. Beberapa orang pengikut Ki Wakhia yang tidak sempat meloloskan diri ditawan pasukan Belanda. Sebagian lainnya berhasil melarikan diri sejadi‑jadinya ke arah pohon‑pohon lebat yang ada di sekitar tempat pertempuran.

Tampaknya, kali ini pasukan Belanda bertindak tidak setengah‑setengah. Mereka terus memburu ke mana pun Ki Wakhia dan pengikutnya melarikan diri. Berbulan‑bulan Ki Wakhia dan pengikutnya berpindah‑pindah tempat persembunyian, dari tempat yang satu ke daerah lainnya yang dianggap aman. Namun pasukan Belanda selalu mengejar mereka, setiap daerah yang diduga menjadi tempat persembunyian Ki Wakhia dan pengikutnya diobrak‑abrik. Tapi yang dicari tak pernah dijumpai, seperti menghilang ditelan Bumi.

Sementara itu, di tempat lain. Di suatu daerah persembunyian yang diperkirakan cukup aman. Ki Wakhia tengah duduk bersila di hadapan para pengikutnya. Raut mukanya tampak muram seperti menanggung beban yang amat berat. Perasaan menyesal atas kekalahan pihaknya dalam pertempuran di Gudang Batu, nampaknya masih membekas di hatinya. Murid dan pengikutnya yang sejak tadi dengan setia mendampingi Ki Wakhia, tak satu pun yang berani membuka mulut. Mereka hanya berdiam diri saja sambil menundukkan kepala, seperti turut bersedih dengan kesusahan yang dialami Ki Wakhia. Suasana terasa hening beberapa saat lamanya, kemudian terdengar suara Ki Wakhia yang berat memecah kesunyian, berucap kepada para pengikutnya.

"Murid‑muridku dan para pengikutku, hati ini rasanya masih penasaran, kekalahan kita di Gudang Batu merupakan cambuk yang mendera kita. Cita-cita luhur mengusir penjajah asing dari negeri yang kita cintai ini, ternyata telah menemui kegagalan. Tentunya kita semua merasa sedih dan kecewa. Tapi tidak apa, itu memang sudah menjadi risiko dalam setiap perjuangan. Tidak satu pun perjuangan bisa dicapai dengan cara yang mudah dan enak. Agar kita selamat sampai ke tujuan, diperlukan keteguhan iman, keuletan dan kesabaran, serta pengorbanan yang tidak sedikit. Baik harta benda maupun pengorbanan jiwa. Oleh karena itu, kepada saudara‑saudara kita yang telah mendahului kita semua menjadi syuhada, kita doakan semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan. Mari kita teruskan pengorbanan mereka, dengan mengobarkan semangat perjuangan di dada kita masing‑masing." Demikian nasihat Ki Wakhia kepada para pengikutnya.
"Keadaan sudah semakin sulit, kita sedikit pun tidak diberikan kesempatan untuk menyusun kekuatan. Pasukan Belanda selalu memburu kita ke mana pun kita bersembunyi. Sebentar lagi tempat ini akan tercium oleh pasukan Belanda. Dan kita terpaksa mengungsi lagi ke daerah lain, begitulah seterusnya. Saat ini tanah Banten sudah tldak aman buat kita. Maka dari itu, pada kesempatan ini, aku ingin menyampaikan sesuatu yang sebetulnya amat berat dikemukakan. Tapi demi kelangsungan perjuangan kita selanjutnya. Apa boleh buat, hanya jalan itu yang harus kita tempuh. Dengarkan baik‑baik muridku dan para pengikutku semua, terlebih dulu aku mengucapkan terima kasih atas segala kesetiaan kalian. Tetapi, karena ruang gerak kita semakin sempit dan sulit. Terpaksa, untuk sementara kita berpisah dulu. Aku berniat mengungsi ke daerah yang aman." Kata Ki Wakhia dengan suara datar.
"Tapi, ke mana kiyai hendak pergi." Tanya salah seorang muridnya ingin tahu.
"Untuk saat ini, satu‑satunya tempat mengungsi yang aman adalah Lampung." Jawabnya singkat.
"Siapa yang akan menemani kiyai, dalam perjalanan nanti." Ujar pengikut lainnya bertanya.
"Oh, tidak usah. Kalian tak perlu khawatir, aku masih sanggup menjaga diri." Katanya meyakinkan para pengikutnya.

Setelah usai pertemuan, semua yang hadir membubarkan diri. Ki Wakhia yang ditinggalkan seorang diri, masih belum beranjak dari tempat duduknya semula. Pikirannya menerawang jauh ke depan, membayangkan keluarganya yang berbulan‑bulan ditinggalkan di Gudang Batu. Tanpa terasa, batinnya terguncang oleh kedukaan yang melilit hatinya. Tapi hanya sesaat, kedua lengannya mengusap wajahnya yang agak kusut. Setelah itu, pikirannya kembali menjadi jernih. Dengan hati yang mantap, Ki Wakhia berlalu meninggalkan tempat persembunyiannya dengan tujuan mengungsi ke Lampung. Beberapa waktu kemudian, dari Lampung Ki Wakhia melanjutkan perjalanan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di tanah suci itulah, ulama besar itu memperdalam ilmu agama selama bertahun‑tahun.

Di rumah kediaman Ki Wakhia di Gudang Batu, suasananya tampak hening dan sunyi seperti ditinggalkan oleh penghuninya. Sebenarnya tidak demikian halnya, kalau kita melongok lebih ke dalam, ternyata rumah itu berpenghuni cukup banyak. Hanya saja, sejak berita kekalahan Ki Wakhia dan para pengikutnya sampai ke telinga mereka. Keluarga Ki Wakhia seperti menutup diri dari dunia luar. Terutama Nyi Mas Ijo, berhari‑hari ia mengurung diri di dalam kamar menangis tiada hentinya. Betapa tidak, walau bagaimana pun, Nyi Mas Ijo merasa turut bersalah. Bahwa dirinya sebagai salah satu penyebab hingga terjadinya perang Gudang Batu, yang mengakibatkan ayahnya dikejar‑kejar pasukan Belanda.

Namun yang paling dikhawatirkan Nyi Mas Ijo saat itu, adalah dendam pria Belanda yang tergila‑gila kepadanya. la tak dapat membayangkan, apa yang terjadi andaikata pria Belanda itu menyatroni rumahnya dan memaksanya kawin dengan lelaki Belanda itu. Ngeri hatinya memikirkan semua itu. Dan jika hal itu sampai terjadi, ia telah bertekad akan mempertahankan harga diri serta kehormatannya hingga titik darah terakhir. Apa pun yang terjadi, ia tak sudi menjadi istri orang Belanda yang dibenci ayahnya serta seluruh keluarganya itu.

Bayangan buruk itu, selalu mengganggu pikirannya. Dalam beberapa hari saja, tubuhnya yang gempal dan montok kelihatan kurus, mukanya pucat tak terawat. Sepasang matanya yang indah tampak bengkak akibat terlalu banyak menangis. Setiap malam, Nyi Mas ljo dibayang‑bayangi rasa takut yang mencekam perasaannya, membuat ia tak dapat memicingkan matanya. Karena tak kuasa menanggung derita batin yang terasa semakin menghantui dirinya. Akhirnya, Nyi Mas Ijo berbuat nekad. Suatu pagi, gadis malang itu pergi dari rumahnya dengan tujuan ke Ujung Kulon untuk menemui Ki Pelen. Seperti diketahui, Ki Pelen tersohor sebagai manusia Sakti penguasa hutan belantara Ujung Kulon yang memiliki pasukan Harimau. Konon kabarnya, seluruh harimau yang ada di Ujung Kulon tunduk dan patuh pada kekuasaan Ki Pelen yang amat ditakutinya itu. Setiap saat, orang tua Sakti itu dapat mengerahkan pasukan Harimau sekehendak hatinya. Sebab itu, Nyi Mas ljo bermaksud meminta bantuan Ki Pelen agar mengerahkan pasukan Harimau untuk melawan pasukan Belanda.

Tapi sejak kepergiannya dari rumah, Nyi Mas Ijo tak terdengar lagi kabar beritanya. Tak seorang pun yang dapat mengetahui, bagaimana nasib putri Ki Wakhia yang tengah dirundung kemalangan itu. la seperti raib begitu saja dari keramaian dunia.

You Might Also Like

0 komentar