Banten,
Cibangkong,
Gudang Batu,
Lupis Cibangkong,
Waringin Kurung
PERANG GUDANG BATU PERTAMA - BANTEN - PART I
BAIKLAH, sebelum kita ikuti peristiwa bersejarah berikutnya yang melahirkan tokoh utama dalam buku ini.
Pada pertengahan abad ke 16, Banten berada di bawah kekuasaan
kerajaan Sunda, dengan pusat pemerintahan di Wahanten Girang, di tepi kali
Dalung, yaitu di sekitar Sempu sekarang. Ketika itu penduduk Banten memeluk
agama Hindu, yang mengabdi kepada Prabu Pucuk Umun sebagai penguasa tertinggi di
daerah itu. Perlu diketahui, menurut catatan sejarah, Prabu Pucuk Umun termasuk
keluarga dekat dari Prabu Siliwangi yang menjadi raja di Pajajaran. Pada masa
itu, Banten cukup ramai dikunjungi pedagang asing dari beberapa negara.
Sementara pelabuhan Banten, tercatat sebagai pusat perdagangan yang menarik
perhatian para saudagar Asia dan Eropa. Hasil
bumi yang diperdagangkan waktu itu adalah beras dan lada.
Tatkala Syarif Hidayatullah dan putranya Maulana Hasanuddin menginjakkan kaki pertama kali di Banten. Untuk suatu tugas suci meng‑Islam‑kan penduduk. Ketika itu, hanya beberapa orang penduduk saja yang telah memeluk agama Islam. Mereka menetap di sekitar Banten, Namun, berkat penampilan Syarif Hidayatullah serta putranya Maulana Hasanuddin yang begitu menawan hati penduduk. Maka sebagian rakyat Banten, dengan suka rela beralih agama menjadi pemeluk Islam yang taat serta setia kepada kepemimpinan Syarif Hidayatullah dan putranya.
Waktu Kerajaan Sunda berhasil ditaklukkan Syarif Hidayatullah
beserta Maulana Hasanuddin, dan lbukota Wahanten Girang dapat direbut. Prabu
Pucuk Umun yang tidak mau masuk Islam, melarikan diri ke Gunung Pulosari. Konon
kabarnya, karena malu dan takutnya pada Maulana Hasanuddin yang terus
mengejarnya. Prabu Pucuk Umun kemudian menghilang dari Dunia ramai dan masuk
menjadi penghuni Alam gaib. Perbuatan nekad itu terpaksa dilakukan Prabu Pucuk
Umun, untuk menghindarkan diri dari kejaran Maulana Hasanuddin yang terus
mencarinya.
Syarif Hidayatullah memindahkan pusat pemerintahan, dari Wahanten
Girang ke Banten lama. Dan pada tahun 1526, Maulana Hasanuddin membangun
kota Surosowan
di Banten lama. Yang kemudian menjadi pusat kegiatan dan pemerintahan Kerajaan
Islam Banten.
Sejak itu, penduduk Banten menjadi berkembang pesat. Perdagangan
semakin maju, rakyat hidup dengan aman dan sejahtera. Sementara itu, sebagian
besar daerah Banten telah dapat di‑Islamkan. Tahun 1552 Syarif Hidayatullah
mengundurkan diri dari pemerintahan, karena merasa telah tiba waktunya Maulana
Hasanuddin menggantikannya. Ulama besar yang dicintai rakyat itu, kelak namanya
lebih terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, sebagai salah seorang wali dari
wali sanga. Syarif Hidayatullah kemudian menobatkan putranya Maulana Hasanuddin
menjadi Sultan Banten yang pertama. Dalam masa pemerintahan Sultan Maulana
Hasanuddin itulah, dibangun Keraton Surosowan yang megah. Orang asing yang
datang berkunjung ke Banten, menyebutnya sebagai "Kota Intan". Suatu pujian;
yang menggambarkan betapa indah dan cantiknya Keraton Surosowan pada saat
itu.
Perlu diketahui, keberhasilan Syarif Hidayatullah dan Maulana
Hasanuddin dalam meng‑Islamkan daerah Banten, serta menaklukkan Kerajaan Sunda,
yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Islam di Banten. Adalah berkat jasa
yang amat besar dari Panglima Perang Serenggane, yang dengan setia
mendampingi‑Syarif Hidayatullah. Panglima Perang Serenggane, dilukiskan sebagai
seorang kesatria lambang keberanian. Patriot sejati yang tak pernah gentar
menghadapi musuh, tak seorang pun lawan yang sanggup menandingi kehebatannya di
medan laga.
Dalam segala tindak tanduknya, kejantanannya sangat mengesankan sekali.
Kesaktiannya luar biasa, berbagai macam ilmu keprajuritan dikuasainya dengan
baik. Begitu pemberaninya Panglima Serenggane, sehingga gigi taringnya terlihat
sampai menonjol ke luar. Sebagai tanda, keteguhan hatinya tak tergoyahkan,
laksana Gunung Karang yang berdiri tegak dengan kokohnya. Kesetiaan serta
kejujurannya tak perlu diragukan lagi.
Itulah sebabnya, ketika Syarif Hidayatullah berniat meninggalkan
Banten dengan tujuan pergi ke Cirebon . Sang Ulama menyempatkan diri berbicara
empat mata dengan Panglima Serenggane. la berpesan kepada Panglima Serenggane
dengan wanti‑wanti sekali, agar membantu dan mendampingi putranya Sultan Maulana
Hasanuddin dalam mengembangkan agama Islam serta menjaga keutuhan daerah
sekitarnya dari rongrongan dan ancaman musuh.
"Serenggane, duduklah. Ada soal penting yang akan kita bicarakan hari
ini." kata sang ulama, memulai pembicaraan dengan suaranya yang lembut penuh
wibawa.
"Ada
apakah gerangan kiyai." Tanya Panglima Serenggane, sikapnya sangat rnenghormat
sekali.
"Begini Serenggane, sebentar lagi saya akan pergi jauh meninggalkan
Banten. Ada tugas penting yang harus segera
diselesaikan di Cirebon . Untuk itulah panglima saya panggil
kemari".
"Kemana pun kiyai hendak pergi, saya selalu siap mendampingi kiyai."
jawabnya singkat.
Panglima Serenggane duduk
bersila sambil menundukkan kepala dengan khidmatnya, ia tampak begitu segan
terhadap Syarif Hidayatullah. Orang yang selama ini paling dihormatinya, yang
telah ia anggap sebagai guru dan pemimpinnya.
Terima kasih atas
kesetiaanmu Serenggane, tapi bukan itu maksudnya. Dengarkanlah baik‑baik, ketika
pertama kali kita menginjakkan kaki di Banten. Tujuan kita yang utama adalah
meng‑Islamkan seluruh tanah Banten. Hati ini rasanya belum lega dan puas, kalau
cita‑cita yang luhur itu belum terwujud. Oleh karena itu, tugas yang maha suci
ini saya percayakan ke atas pundak panglima. Semoga Bumi Banten yang kita cintai
ini akan menjadi perlambang kebesaran Islam. Masalah kedua yang tidak kalah
pentingnya, adalah menjaga keutuhan negeri ini. Kita dengan susah payah
membangunnya, untuk itu, jagalah persatuan dan kesatuan di antara sesama kita.
Sebab, hanya itulah yang dapat mempertahankan negeri ini dari setiap ancaman.
Baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar. Karena itu kita jangan sampai
lengah, terutama terhadap bangsa asing yang ingin menjajah kita. Sejengkal tanah
pun harus kita pertahankan dengan darah dan nyawa." Ucap sang ulama lebih
lanjut.
"Ingat!, membela tahah air
wajib hukumnya, camkan itu baik‑baik." Dengan panjang lebar Syarif Hidayatullah
memberikan wejangan kepada Panglima Serenggane.
"Oleh karena itu, sebelum saya pergi. Ada satu permintaanku, dampingilah putraku
Sultan Maulana Hasanuddin dalam suka dan duka." ujarnya.
Sepasang matanya menyorot tajam ke arah Panglima Serenggane dengan
amat berpengaruh sekali. Seakan hendak menembus ke dalam lubuk hatinya.
Wajah Panglima Serenggane tampak semakin tertunduk, semua ucapan dan
petuah Syarif Hidayatullah tadi, amat berkesan sekali. Untuk beberapa saat
lamanya, ia terdiam di tempatnya tak kuasa berkata sepatah kata pun.
Panglima Serenggane yang terkenal gagah perkasa itu, luluh hatinya
begitu mendengar nasihat Syarif Hidayatullah. Ketika itu, hatinya sedih juga
harus berpisah dengan orang yang amat dikaguminya. Tapi kemudian Panglima
Serenggane sadar, apa yang dikatakan Syarif Hidayatullah memang benar. Bahwa
tenaganya masih diperlukan untuk mempersatukan seluruh Banten.
"Sebenarnya hati saya berat berpisah dengan kiyai, tapi kalau memang
sudah menjadi keputusan kiyai. Saya siap menerimanya. Selamat jalan kiyai,
semoga selamat sampai ke tempat tujuan." Katanya dengan suara agak sedih.
"Bagus, begitulah seharusnya sikap seorang kesatria sejati". Ucap
Syarif Hidayatullah memuji.
Sejak pertemuannya yang terakhir dengan ulama terkemuka itu, hati
Panglima Serenggane semakin mantap. la kemudian menikah dan menetap di Banten
sampai akhir hayatnya. Sebelum menutup mata, ada satu hal yang membuat lega hati
Panglima Serenggane. Yaitu, janjinya pada Syarif Hidayatullah telah dilaksanakan
dengan baik. Seluruh sisa hidupnya telah dihabiskan untuk berbakti pada Kerajaan
Banten. Ketika itu, Panglima Serenggane mendampingi Sultan Maulana Hasanudd,in,
yang memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Banten sampai dengan tahun 1570.
Waktu itu, Kerajaan Banten mencapai jaman keemasan yang gilang gemilang.
Jejak kepahlawanan Panglima Serenggane, diwarisi oleh anak
keturunannya. Mereka dengan setia mengabdi pada Kerajaan Banten, hingga pada
saat terakhir kehancuran Banten tahun 1813. Tampaknya, darah Panglima Serenggane
mengalir pada anak cucunya. Sifat‑sifat kejantanannya sebagai seorang pejuang
pembela negara, terlihat jelas pada keluarga besar Panglima Serenggane. Terbukti
kemudian, dari Panglima Serenggane inilah lahir keturunannya, yang
menjadi.patriot‑patriot sejati pembela rakyat yang amat disegani lawan. Dan ada
satu ciri khas yang bisa dikenali pada anak keturunannya. Yaitu, pada setiap
keturunan Panglima Serenggane, gigi taringnya pasti menonjol keluar. Sebagai
tanda, keluarga ini mempunyai keberanian yang luar biasa.
Hanya sayang sekali, silsilah keturunan Panglima Serenggane tidak
diketahui secara lengkap dan jelas. Tapi yang pasti, salah seorang keturunannya
kemudian diketahui bernama Ki Rakse. Dan sebagai pewaris keluarga besar Panglima
Serenggane, Ki Rakse juga mengabdikan diri di Kerajaan Banten. Dari Ki Rakse
inilah, lahir seorang putranya yang diberi nama Qoshdu. Pada masa kecilnya,
Qoshdu mendapat didikan khusus dari ayahnya. la dibekali ilmu agama dan ilmu
keprajuritan selama bertahun‑tahun hingga menjelang usia remaja. Dan ketika
umurnya mulai menginjak dewasa, Qoshdu tumbuh menjadi seorang pemuda yang taat
menjalankan perintah agama. Selain itu, ia juga menguasai berbagai macam ilmu
bela diri yang diwarisi dari ayahnya. Penampilannya tenang dan sifatnya agak
pendiam tak banyak bicara. Suatu hari, Qoshdu menghadap ayahnya di ruangan tamu.
Kelihatannya ada sesuatu yang akan dibicarakan Ki Rakse terhadap putranya.
Lelaki setengah baya itu lama terdiam di tempat duduknya, seperti ada yang
mengganggu pikirannya. Sesaat kemudian, terdengar suaranya yang agak parau
menggema di seluruh ruangan.
"Anakku, usiamu sekarang sudah cukup dewasa. Sudah waktunya untuk
mencari pengalaman hidup dan mengamalkan semua ilmu yang telah engkau peroleh
selama ini. Sebab, percuma belajar bertahun‑tahun menekuni diri. Kalau akhirnya,
tidak kau amalkan untuk kepentingan rakyat dan negara. Ingat anakku, ilmu adalah
barang titipan yang harus kita berikan kepada siapa saja yang memerlukannya.
Suatu dosa besar anakku, membiarkan ilmu menjadi benda mati yang “tak
berharga."
Demikian nasihat yang diberikan Ki Rakse kepada putranya yang amat
dikasihinya itu. Qoshdu mendengarkan dengan penuh perhatian, diingatnya
baik‑baik semua ucapan ayahnya yang amat berharga itu.
"Sebagai salah seorang keturunan dari Panglima Serenggane, telah
tiba saatnya engkau mengabdikan diri di Kerajaan Banten. ltulah pesan leluhurmu
dulu anakku, kita sebagai keturunannya yang tahu membalas budi, sudah seharusnya
melaksanakannya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Apalagi kabarnya
keadaan negara sekarang sedang tidak aman, pergilah anakku. Jaga dirimu
baik‑baik, doaku selalu menyertaimu." ujar Ki Rakse, memberikan pesan terakhir
kepada putranya.
Sepatah katapun Qoshdu tak menyangkal nasihat ayahnya, sebagai
seorang anak yang patuh pada orang tua. Sudah menjadi kewajibannya memenuhi
permintaan ayahnya. Apalagi yang menyangkut nama leluhurnya. Demikian kata
hatinya.
Dengan berat hati, Qoshdu memohon diri pada ayahnya. Selanjutnya ia
pergi menjadi prajurit di Kerajaan Banten mengikuti jejak orang tuanya. Karena
pembawaan dan keberaniannya luar biasa, dalam waktu singkat, Qoshdu dikenal
sebagai pemuda yang gagah berani serta tak gentar menghadapi musuh. Setiap tugas
yang diembannya, dilaksanakannya dengan baik dan penuh rasa tanggung, jawab.
Ketrampilan serta kecakapannya sebagai prajurit sangat mengagumkan sekali. Oleh
karena itu, Qoshdu kemudian mendapat jabatan yang cukup tinggi di Kerajaan
Banten.
Pada permulaan abad ke 19, situasi negara semakin tidak
menguntungkan. Ketika itu, Kerajaan Banten mendapat tekanan terus menerus dari
pemerintah kolonial Belanda. Beberapa kali pasukan penjajah Belanda melakukan
penyerbuan untuk menaklukkan Banten; tetapi selalu mengalami kegagalan dan
kerugian yang tidak sedikit. Prajurit Banten dengan gagah berani, menghalau dan
memukul mundur setiap ancaman yang datangnya dari pihak penjajah Belanda.
Ketika keadaan negara betambah mengkhawatirkan, akibat ancaman dari
pihak Belanda yang tiada hentinya berupaya menaklukkan Kerajaan Banten. Qoshdu
mendapat tugas mengamankan daerah Banten di bagian Barat. Sebagai seorang
prajurit yang trampil, ia diharapkan dapat mengawasi gerak‑gerik musuh yang
datangya dari Merak, Anyar, Cilegon dan Bojonegara. Untuk memudahkan
melaksanakan tugas yang dibebankan ke atas pundaknya. Qoshdu kemudian membangun
pasanggrahan di sebelah Utara Serdang, yang akan dijadikan tempat tinggalnya
selama bertugas di daerah itu. Letak pasanggrahan itu, dari Serdang sekitar 3
kilo meter ke arah Bojonegara, persis di dekat pohon buni (wuni).
Beberapa tahun kemudian, banyak penduduk yang mendirikan rumah dan
menetap di sekitar pasanggrahan. Lalu terbentuklah sebuah kampung, oleh
penduduk, kampung itu kemudian disebut dengan nama Kampung Seruni. Nama tersebut
mengandung arti, bahwa kampung itu letaknya di bawah pohon buni, atau dalam
bahasa Seranghya berarti "dese ning sor wuni". Hingga sekarang, Kampung Seruni
berkembang menjadi suatu perkampungan, yang padat penduduknya.
Sementara itu, situasi di Kerajaan Banten semakin tidak menentu.
Selain tekanan dari pihak penjajah Belanda semakin hebat. Ternyata, di
lingkungan keluarga Kerajaan Banten sendiri, telah lama terjadi
pertikaian‑pertikaian antara sesama kerabat kerajaan, yang saling memperebutkan
kedudukan sultan. Keadaan ini mengakibatkan posisi Kerajaan Banten semakin
lemah, yang sangat menguntungkan pihak lawan.
Tentu saja kesempatan yang amat berharga itu, dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh pihak Belanda untuk melakukan pukulan terakhir. Dengan
dipimpin langsung oleh Gubernur Jendral Herman Daendels dari Batavia , maka pada tahun
1813, pasukan Belanda mehghancur-leburkan Kerajaan Banten hingga rata dengan
tanah. Peristiwa yang sangat mengharukan itu, disambut rakyat Banten dengan
perasaan duka yang amat dalam.
Sejak itu, kebencian rakyat terhadap Belanda semakin menjadi‑jadi.
Hal ini bisa dimaklumi, karena bagi rakyat Banten, seorang sultan selain diakui
sebagal kepala pemerintahan yang amat dihormati. Sultan juga dianggap sebagai
seorang ulama terkemuka tempat rakyat mengadu dan meminta nasihat. Oleh karena
itu, tindakan penjajah Belarida yang menghancurkan Kerajaan Banten. Dianggap
suatu penghinaan besar terhadap rakyat; yang mengundang reaksi keras di
mana‑mana.
"Bedebah, Belanda‑Belanda itu tidak punya perasaan sedikitpun."
Umpat seorang penduduk dengan geramnya.
"Namanya saja penjajah, apapun akan dilakukan untuk mencapai
maksudnya, yang menghalalkan segala cara." kata temannya menimpali.
"Puh, suatu saat nanti, rakyat akan membalas sakit hatinya, penjajah
itu akan angkat kaki dari tanah Banten." Ujar temannya yang lain melampiaskan
kebenciannya.
"Benar, mereka pasti lari terbirit‑birit seperti dikejar setan."
Kata temannya yang tadi.
Rasa tidak puas penduduk atas kebiadaban Belanda, memang terbukti
kemudian. Di beberapa tempat timbul perlawanan‑perlawanan kecil menentang
penjajah Belanda. Tetapi, karena perlawanan itu hanya dilakukan oleh sekelompok
penduduk yang berdiri sendiri‑sendiri, serta tidak adanya kontak dengan
perlawanan rakyat di daerah lainnya yang bermunculan di seluruh Banten. Maka
pihak penjajah Belanda dengan mudah dapat menumpasnya, tak ubahnya seperti
percikan‑percikan api di atas sebuah tungku.
Kehancurari Kerajaan Banten, diterima Qoshdu dengan hati yang sedih.
Berminggu‑minggu ia mengurung diri di dalam kamar dengan wajah murung.
Hatinya begitu terpukul mendengar berita yang mengejutkan itu,
laksana suara petir yang menggelegar di siang hari. Tak pernah terbayangkan
sebelumnya, kebesaran Kerajaan Banten yang termasyhur itu, berakhir dengan
kehancuran total. Andaikata saja, tidak terjadi perpecahan dan pertikaian di
dalam tubuh Kerajaan Banten, musibah itu tidak akan menimpa seburuk itu. Dan
Qoshdu merasa yakin, serbuan penjajah Belanda akan dapat dihalau.
Tapi, semuanya telah terjadi dengan begitu cepat, sia‑sia saja
menyesali sesuatu yang telah tiada. Dan kalau saja saat itu Qoshdu, menurutkan
kata hatinya yang sedang gundah. Mau rasanya ia menghancur lumatkan
Belanda-Belanda keparat itu. Tapi Qoshdu kemudian sadar, belum tiba waktunya
untuk membalas kepedihan hatinya. Satu saat nanti, penjajah asing itu akan
merasakan juga pahitnya. Betapa nyeri dan pedihnya pembalasan dari rakyat yang
merasa terhina dan tertindas. Cepat atau lambat penjajah Belanda akan terusir
dari bumi Banten.
Bertahun‑tahun berlalu dengan cepatnya, tampaknya Qoshdu sudah mulai
melupakan kedukaan hatinya. Memang tak baik bagi seorang pemuda terlalu lama
tenggelam dalam kesedihan, raut mukanya kelihatan sedikit cerah dan tatapan
matanya kembali bersinar, pertanda semangatnya mulai bangkit. Namun ada sedikit
perubahan pada diri Qoshdu, perangainya tampak lebih pendiam dari biasanya.
Kalau tak perlu benar, jarang sekali ia berbicara dengan penduduk. Dan sekitar
tahun 1817, Qoshdu menikah dengan seorang gadis bernama Fadmah. Kedua suami
istri itu, tampaknya cukup bahagia serta hidup dengan penuh kerukunan.
Dua tahun kemudian, pasangan muda itu dikaruniai seorang anak
laki‑laki yang diberinya nama Abbas. Kehadiran si kecil Abbas di tengah
lingkungan keluarga mereka, membuat suasana rumah tangga Qoshdu menjadi semakin
cerah. Pasangan suami‑istri itu kelihatannya berbahagia sekali. Terutama Qoshdu,
ada saja yang membuatnya tertawa terpingkal‑pingkal karena ulah Abbas yang lucu.
Qoshdu amat menyayangi putranya, dengan penuh kesabaran diajarnya Abbas ilmu
agama sampai bertahun‑tahun hingga khatam. Dan ketika usia putranya mulai
menginjak 10 tahun, ia mendidik Abbas dengan berbagai macam ilmu bela diri. Apa
yang dimiliki Qoshdu, diturunkan semua kepada putranya. la berharap, kelak
putranya akan menjadi seorang pemuda tangguh, yang dapat menyumbangkan tenaganya
untuk kepentingan negara.
Kita tinggalkan dulu keluarga Qoshdu untuk sementara, selanjutnya
kita ikuti peristiwa yang terjadi di bagian lain di daerah Banten. Seperti telah
dituturkan pada kisah sebelumnya, sejak penjajah Belanda menancapkan kukunya di
tanah Banten pada tahun 1813. Timbul pergolakan di mana‑mana, sebagai
pelampiasan kemarahan rakyat yang tidak sudi tanah airnya dijajah bangsa asing.
Rakyat Banten, sejak dulu memang memiliki rasa patriotisme yang tinggi. Oleh
karena itu, untuk menumpas semua kekacauan yang timbul, pihak penjajah Belanda
tak segan‑segan menggunakan tangan besi. Penduduk yang dicurigai melakukan
kekacauan ditangkap dan diganjar dengan hukuman berat, atau dihukum kerja paksa
selama beberapa tahun. Sedangkan terhadap pemimpin‑pemimpin kerusuhan, pihak
pemerintah penjajah Belanda menghukumnya lebih berat lagi. Mereka diasingkan dan
dibuang ke Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan .
Upaya ini ditempuh pemerintah kolonial Belanda, dengan tujuan agar pergolakan
yang telah berhasil dipadamkan tidak bangkit kembali.
Maka, untuk menghindarkan diri dari penindasan dan kejaran pasukan
Belanda. Banyak pelaku kerusuhan yang melarikan diri dan bersembunyi ke Lampung.
Bahkan tak sedikit penduduk Banten yang kemudian menetap di Lampung sampai
berumah tangga dan beranak cucu. Dari tempat persembunyian mereka di Lampung,
penduduk Banten tidak pernah tinggal diam dan selalu berupaya menentang penjajah
Belanda. Pada saat‑saat yang tepat, mereka menyusup ke Banten bergabung dengan
penduduk Banten lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Setelah itu, mereka kembali ke Lampung untuk bersembunyi dan menghindar dari
kejaran pasukan Belanda.
Penindasan yang dilakukan penjajah Belanda terhadap rakyat Banten,
semakin menjadi‑jadi. Penduduk diwajibkan membayar pajak tanah serta pajak
kekayaan kepada pemerintah penjajah. Beban rakyat menjadi bertambah berat dengan
dikeluarkannya peraturan tentang pajak kepala. Artinya, setiap penduduk Banten
yang telah dewasa, diharuskan membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda.
Bagi rakyat yang tak sanggup membayar pajak kepala, akan dihukum kerja paksa
sebagai gantinya. Selain itu, kemudian bermunculan tuan tanah‑tuan tanah Belanda
yang menguasai tanah rakyat. Penduduk yang bertempat tinggal dan bertani di
tanah milik tuan tanah, diharuskah membayar pajak tanah kepada pemilik tanah
alias tuan tanah. Sedangkan rakyat yang melalaikan kewajibannya membayar pajak
tanah, akan merasakan betapa kejamnya tuan tanah memperlakukan rakyat yang cuma
dianggap sebagai budaknya.
Seperti nasib yang dialami seorang petani bernama Amir penduduk dari
Kampung Bayuku. Ketika itu, Amir beserta keluarganya menetap dan bekerja
menggarap sebidang tanah milik seorang Belanda bernama Kamphuys. Dari hasil
jerih payahnya setiap hari memeras keringat dan bermandikan sinar matahari yang
membakar tubuh, Amir sudah cukup puas bisa menghidupi keluarganya anak beranak.
Bahkan, dari hasil menyisihkan sebagian uang belanja dapur setiap bulan, Amir
masih dapat menabung sedikit demi sedikit. Dengan uang simpanannya itulah, Amir
mampu membeli seekor kerbau dan membayar pajak pada Tuan Kamphuys.
Namun nasib buruk kemudian menimpa keluarga Amir. Betapa tidak,
akhir‑akhir ini panen padi dan palawija yang menjadi tumpuan keluarga petani
itu, hasilnya tidak seperti panen tahun sebelumnya. Dari tahun ke tahun
pendapatan mereka sebagai petani penggarap terus merosot, jauh dari yang mereka
harapkan. Tapi Amir tak kuasa berbuat apa‑apa, selain hanya mengelus dada dengan
perasaan penuh kecewa. Jangankan untuk membayar pajak, buat menyambung hidup
sekeluarga saja tidak cukup. Terpaksa Amir menebalkan muka ngutang kanan‑kiri
pada tetangga, agar anak istrinya tidak sampai kelaparan. Itulah sebabnya, sudah
beberapa tahun ini mereka menunggak pajak pada Tuan Kamphuys.
Tapi dasar tuan tanah, Tuan Kamphuys mana mau tahu dengan kesulitan
hidup yang dihadapi Amir sekeluarga. Malah dengan amat kasarnya, Amir didamprat
habis‑habisan. la dituding sebagai pembangkang yang hanya mencari alasan saja
untuk tidak membayar pajak.
"Sudah berapa tahun jij tidak bayar itu pajak, hah!". Tegur Tuan
Kamphuys sambil berkacak pinggang dengan sombongnya.
"Dua tahun Tuan."Jawab Amir sambil menundukkan mukanya.
"Ya, betul. Dan jij tidak pernah mau bayar itu pajak ya!, apa sudah
berani melawan Belanda?" Kata Tuan Kamphuys dengan garangnya.
"Tidak sekali‑kali Tuan, saya hanya minta tempo, sekarang saya belum
bisa bayar pajak." Ujar Amir agak mengiba.
"Praat niet to veel, saya sudah terlalu baik sama jij, itu pajak
harus di bayar secepatnya dan tidak ada alasan, mengerti!" Bentak Tuan
Kamphuys.
"Tapi saya tidak punya uang Tuan, sungguh Tuan, dengan apa mesti
saya bayar. Tolonglah Tuan, beri saya waktu beberapa bulan untuk melunasinya."
Pinta Amir minta dikasihani.
"Verdom zeg!, sekarang jij pintar bicara dan banyak bohong. Tapi jij
masih punya itu kerbau, kenapa tidak jij jual saja, biar hutang‑hutang itu lunas
semua." Kata Tuan Kamphuys, dengan mata melotot. Seperti hendak menelan Amir
bulat‑bulat.
"Memang benar Tuan, tapi kerbau itu satu‑satunya milik kami yang
bisa dibanggakan. Kalau kerbau itu dijual, dengan apa kami membajak sawah,
kasihanilah kami sekeluarga Tuan." Ucap Amir dengan nada memohon.
"Hou je smoel!, itu saya tidak tahu, pokoknya tidak bisa. Jij harus
bayar itu pajak semua, kalau tidak, nanti saya panggil orang buat usir jij dari
ini tanah."
Kata Tuan Kamphuys mengeluarkan ancamannya, tuan tanah itu mulai
menunjukkan giginya sebagai seorang penguasa, yang setiap saat bisa berbuat apa
saja sekehendak hatinya terhadap rakyat. Setelah itu Tuan Kamphuys berlalu
meninggalkan Amir yang terduduk dengan lesu.
Kendatipun Tuan Kamphuys telah pergi dan menghilang dari hadapan
Amir. Tapi kata‑kata kasar yapg dilontarkan Tuan tanah itu, masih jelas
terngiang di telinga Amir. Makin lama terasa semakin membakar sekujur tubuhnya
yang gemetar menahan amarah yang tak tertahankan. Hatinya mendidih seperti
terbakar api yang panas sekali, sebagai manusia, Amir merasakan harga dirinya
telah diinjak‑injak dan dicampakkan begitu saja oleh Tuan tanah kejam itu.
Perasaan benci dan dendam mulai merasuki jiwanya yang sedang terguncang
hebat.
"Sudahlah Pak, jangan terlalu dipikirkan." Tegur istrinya, hatinya
khawatir bercampur iba melihat wajah suaminya yang tampak bermuram durja.
"Apa?, kau pikir akan semudah itu melupakannya, tidak istriku.
Belanda keparat itu sudah keterlaluan menghina kita, sakit hati ini rasanya
sukar terobati."
"Sabarlah suamiku, biarlah orang menghina kita, apalah artinya
petani miskin dan orang kecil seperti kita ini, apa daya kita melawan Tuan tanah
yang berkuasa itu." Keluh istrinya agak terisak, ia tak sampai hati menyaksikan
kedukaan suaminya.
"Benar katamu istriku, kita memang orang kecil yang selalu menjadi
permainan hidup. Tapi kita punya harga diri, kita tidak bisa membiarkan orang
lain menista kita seenak perutnya. Tuan Kamphuys itu, seperti tak memiliki rasa
kemanusiaan sedikitpun, hatinya bagaikan terbuat dari batu karang saia. Tidak
istriku, apapun yang akan terjadi, kita harus membalas penghinaan ini." Kata
Amir dengan penuh kebencian.
Sepasang matanya menatap liar ke luar rumah, ke arah menghilangnya
bayangan Tuan Kamphuys di balik sebatang pohon yang rindang. Tekadnya telah
bulat untuk membalas dendam pada Tuan Kamphuys, yang saat itu merupakan
satu‑satunya orang yang paling dibenci Amir di atas dunia ini. Begitulah kalau
hawa nafsu sudah merasuk ke dalam hatinya.
Beberapa bulan kemudian setelah peristiwa itu berlalu, tepatnya pada
Minggu ke dua bulan Desember 1845. Terjadi kegemparan di perkebunan Cikandi,
pada hari yang penuh dendam itu, Amir beserta puluhan penduduk yang menaruh
simpati padanya, menyerbu rumah Tuan tanah Kamphuys. Dalam penyerbuan tersebut,
hanya tiga orang anak Tuan Kamphuys yang berhasil diselamatkan oleh salah
seorang pimpinan penyerang. Selebihnya, Tuan Kamphuys, istrinya, serta
lima orang
anaknya, habis dibasmi Amir dan teman-temannya yang mengamuk seperti kesetanan.
Rumah Tuan Kamphuys kemudian dijadikan markas oleh Para penyerbu. Ketika itu, Amir dan kawan-kawannya telah
bersepakat untuk melanjutkan perlawanan menentang kezalimanyang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Selama ini, mereka telah cukup menderita
diperlakukan tidak adil oleh penjajah Belanda yang berbuat semena‑mena terhadap
rakyat Banten.
Tetapi, karena perlawanan mereka terpusat pada satu tempat saja.
Lagi-lagi upaya penduduk memerangi penjajah Belanda menemui kegagalan, dengan
mudah pasukan Belanda memadamkannya dan membuat mereka menjadi kocar‑kacir.
Sebagian besar perusuh berhasil ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Sementara, sebagian lainnya dapat melarikan diri dari kepungan pasukan
Belanda.
Peristiwa perlawanan rakyat lainnya, terjadi, di Gudang Batu,
Weringin Kurung. Seperti diketahui, penduduk Gudang Batu dari dulu terkenal amat
membenci penjajah Belanda. Setiap pergerakan rakyat yang menentang pemerintah
kolonial Belanda, penduduk Gudang Batu tak pernah absen membantu setiap
perjuangan melawan kezaliman. Rasa patriotisme mereka memang cukup tinggi.
Ada satu lagi
kelebihan penduduk Gudang Batu, seluruh rakyat akan bersatu padu bahu‑membahu
dalam menentang ketidak adilan dari manapun datangnya. Itulah sebabnya, daerah
ini sering dijadikan tempat persembunyian penduduk, yang melarikan diri dari
pengejaran pasukan Belanda.
Oleh karena itu, untuk menghadapi setiap pergolakan yang terjadi di
Gudang Batu. Pihak pemerintah kolonial Belanda selalu bersikap hati‑hati sekali,
dalam melakukan tindakan terhadap penduduk yang dicurigai telah berbuat
kekacauan. Pasukan Belanda tidak bisa berbuat semaunya terhadap penduduk Gudang
Batu. Salah sedikit, dapat berakibat fatal bagi pemerintah kolonial Belanda. Hal
ini sebenarnya bisa dijadikan contoh yang sangat berharga bagi setiap perlawanan
rakyat yang menentang penjajah Belanda: Bahwa persatuan dan kesatuan berperan
sangat penting dan paling menentukan dalam setiap perjuangan. Seperti kata
pepatah, "Bersatu kita teguh dan bercerai pasti runtuh". Kata‑kata mutiara itu,
seperti membekas pada setiap dada penduduk Gudang Batu. Maka dari itu,
perlawanan penduduk Gudang Batu merupakan suatu kekuatan yang dahsyat, yang
tidak mudah dipatahkan oleh penjajah Belanda.
Salah satu perlawanan penduduk Gudang Batu yang sempat membuat kecut
pemerintah kolonial Belanda di Serang. Adalah peristiwa yang terjadi sekitar
tahun 1820-an. Pada waktu itu, rakyat Gudang Batu telah meluapkan rasa bencinya
kepada penjajah Belanda, dengan melakukan suatu tindakan yang amat berani. Tidak
kurang dari 19 orang pegawai staf administrasi distrik, dihabisi jiwanya oleh
penduduk Gudang Batu. Mayat mereka yang dalam keadaan mengerikan, kemudian
ditelungkupkan di atas pagar berjejer di sepanjang jalan di tempat kejadian.
Setelah itu, penduduk Gudang Batu bersiap-siap menghadapi serbuan balasan dari
pasukan Belanda. Mereka telah bertekad bulat akan melawan setiap serangan
pasukan Belanda, demi memperjuangkan kebebasan yang selama ini terbelenggu.
Pemerintah kolonial Belanda di Serang, yang mendapat laporan dari
bawahannya tentang peristiwa yang menghebohkan itu. Pihak Belanda seperti
mendapat tamparan yang sangat memalukan, kejadian itu sudah keterlaluan sekali.
Tapi pemerintah kolonial Belanda, kemudian memutuskan untuk tidak mengambil
tindakan apapun terhadap penduduk Gudang Batu. Sebab, menurut pertimbangan pihak
Belanda, saat itu kemarahan rakyat Gudang Batu sedang meluap tak terkendalikan
lagi. Kalau pasukan Belanda dikirimkan ke tempat kejadian dengan tujuan
memadamkan kekacauan. Dikhawatirkan akan jatuh korban lebih banyak di pihak
pasukan Belanda, sementara kekacauan itu sendiri belum tentu dapat
dipadamkan.
Rakyat Gudang Batu yang telah berjaga‑jaga menantikan serangan
pasukan Belanda, tampaknya bersemangat sekali menyongsong musuh yang akan mereka
hadapi. Tetapi setelah ditunggu selama beberapa hari, pasukan Belanda tidak juga
kelihatan batang hidungnya. Oleh karena itu, panduduk Gudang Batu beranggapan,
pihak Belanda tidak berani menyerang desa mereka. Maka dengan penuh suka ria,
rakyat Gudang Batu pullang ke rumah masing‑masing dengan membawa suatu
kemenangan besar.
"Murid‑muridku, rasanya sudah cukup lama kalian menuntut ilmu di
pesantren ini. Akan tetapi, sesungguhnya belumlah apa‑apa. Sebab, menimba ilmu
itu tiada pernah keringnya, dan tak akan ada habisnya selama hayat dikandung
badan. Maka dari itu, ingat baik-baik. Apa yang telah kalian peroleh selama di
sini, sebenarnya, hanya sebagai bekal dalam mengarungi hidup ini. Yang akan
mengingatkan kalian semua bahwa, segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di
atas dunia ini telah digariskan Tuhan. Yang menguasai alam semesta ini beserta
segala isinya. Untuk itu, dalam keadaan apapun, baik suka dan duka. Kalian harus
ingat selalu kepada-Nya, terhadap Tuhan yang menciptakanmu, agar terbuka mata
hati kita untuk bisa membedakan baik dan buruk, agar kita dapat menahan diri
dari nafsu yang akan menjerumuskan kita ke dalam jurang kehancuran. Yang akan
menuntun kita pada jalan yang benar dan lurus. Tetapi semua itu tidak akan ada
artinya, kalau kita tidak mengamalkannya dengan baik. Oleh karena itu, janganlah
kita sombong dan takabur, jangan merasa benar sendiri. Kita harus mau menerima
nasihat yang baik, walaupun datangnya dari tempat yang hina sekalipun. Jangan
lupa murid‑muridku, sernua yang ada di dunia ini hanya bersifat fana. Tak
ubahnya seperti sebuah panggung sandiwara, kalau layar sudah tertutup, habislah
segalanya. Yang tinggal hanya kesepian dan kesunyian yang mencekam. Oleh sebab
itu, pandai‑pandailah kalian membawa diri. Sebab, masyarakat akan senantiasa
menilai apa yang telah kita perbuat selama ini." Demikian antara lain petuah Ki
Wakhia kepada murid‑muridnya.
Sebagai seorang ulama yang selalu inemperhatikan keadaan rakyat, Ki
Wakhia merasa prihatin dengan situasi saat itu. Hatinya menjadi masgul, tak
jarang, ia menyaksikan penduduk ditindas dan diperlakukan tidak adil oleh
pemerintah kolonial Belanda. Hal itulah yang menyebabkan kebencian Ki Wakhia
kepada penjajah Belanda. Menurut pendapatnya, penjajah Belanda hanya
mendatangkah kesengsaraan dan penderitaan kepada rakyat. Di mana-mana rakyat
dipaksa untuk membayar pajak yang mencekik leher, yang lebih menyedihkan lagi,
sering dijumpai penduduk diwajibkan kerja paksa tanpa diberi upah sepeserpun.
Sementara kebebasan dan kemerdekaan rakyat dibelenggu dengan bermacam‑macam
peraturan yang memberatkan.
Perasaan benci Ki Wakhia terhadap Belanda, diperlihatkan secara
terang-terangan. Umpamanya saja, ia tidak pernah membayar pajak dan sering
melindungi penduduk dari perlakuan kasar pihak Belanda. Kendatipun Ki Wakhia
selalu menunjukkan rasa permusuhan kepada penjajah. Belanda. Tapi untuk
sementara waktu, pemerintah kolonial Belanda tidak dapat berbuat apa‑apa
menghadapi pembangkangan Ki Wakhia. Soalnya, pengaruh Ki Wakhia semakin mengakar
di masyarakat. Pengikutnya bertambah banyak dan ia amat dicintai penduduk Gudang
Batu.
0 komentar