Translate

, , ,

PERANG GUDANG BATU KEDUA - BANTEN



SUDAH terlalu lama kita meninggalkan keluarga Qoshdu, untuk mengetahui bagaimana keadaannya sekarang. Baiklah, kita menjenguk ke tempat tinggal mereka di Kampung Seruni. Ketika itu, telah terjadi banyak perubahan pada diri mereka. Qoshdu telah berubah menjadi seorang pria setengah baya, saat itu umurnya sekitar 46 tahun. Penampilannya semakin tenang dari berwibawa. Dan karena rasa hormat penduduk kepadanya, ia kemudian diberi gelar dengan sebutan Ki Qoshdu. Sedangkan istrinya, Nyi Fadmah yang dengan setia selalu mendampingi Ki Qoshdu. Kendatipun usianya telah mendekati 39 tahun, namun ia tampak awet muda dan masih menampakkan kecantikannya.

Sementara itu, Abbas telah beranjak dewasa. Berkat ketekunan Ki Qoshdu dalam mendidik putranya, Abbas berkembang menjadi seorang pemuda yang matang. la mewarisi semua sifat yang baik dari ayahnya. Semuda itu, Abbas sudah memiliki pandangan yang luas. Perhatiannya terhadap keadaan rakyat dan negara sangat besar sekali, jiwa patriotisme yang menjadi kebanggaan keluarganya seperti melekat ke dalam hatinya. Keluarga Qoshdu, memang selalu dekat dengan rakyat. Mereka dikenal sebagai pejuang yang tak kenal lelah. Ki Qoshdu dan Abbas selalu bahu‑membahu dengan pergerakan rakyat lainnya dalam menentang penjajah Belanda. Namun, perlawanan Ki Qoshdu dan Abbas akhirnya tercium juga. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda secara diam‑diam mengawasi gerak‑gerik Ki Qoshdu serta putranya, untuk mengetahui sampai sejauh mana hubungan mereka dengan para pemimpin rakyat lainnya. Di samping itu, pihak Belanda masih mencari bukti‑bukti tentang keterlibatan mereka dengan beberapa kerusuhan yang terjadi belakangan ini di Banten. Sebab, tanpa kesalahan yang jelas, pihak Belanda tidak dapat berbuat apa‑apa terhadap mereka


Dalam menghadapi pembangkangan Ki Qoshdu dan Abbas, pihak penjajah Belanda tidak bisa bertindak semaunya seperti sering mereka lakukan terhadap rakyat Banten. Soalnya, akibatnya malah akan merugikan posisi pihak Belanda. Dalam pada itu, Ki Qoshdu dan Abbas merasa tidak aman lagi tinggal di Kampung Seruni. Kedua anak beranak itu telah menyadari, bahwa rumah mereka selalu diawasi dari jauh oleh polisi Belanda yang berpakaian preman. Karena itu, untuk sementara waktu, mereka tidak mungkin dapat berhubungan dengan teman‑teman mereka yang berada di luar tanpa diketahui pihak Belanda. Sebab, tindak‑tanduk mereka tak pernah lepas dari pengawasan polisi Belanda. Akhirnya, Ki Qoshdu memutuskan untuk pergi mengungsi ke Kubang Panggang di Kecamatan Pulo Merak.

Secara diam‑diam dan tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun. K Qoshdu berhasil mengelabui pihak Belanda, ia kemudian memboyong keluarganya ke Kubang Panggang tanpa setahu polisi Belanda. Di tempat tinggal mereka yang baru, Ki Qoshdu dan Abbas merasa lega. Mereka tidak lagi diawasi polisi Belanda yang membatasi ruang gerak mereka berdua. Dengan amat berhati‑hati Ki Qoshdu dan Abbas dapat menjalin hubungan kembali dengan para pemimpin rakyat yang melakukan gerakan memusuhi penjajah Belanda. Secara sembunyi‑sembunyi mereka melakukan perlawanan di beberapa tempat. Ketika mereka menetap di Kubang Panggang itulah, Ki Qoshdu dan Abbas mendengar tentang terjadinya perang Gudang Batu pertama yang dipimpin Ki Wakhia. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1840 an. Berita kekalahan Ki Wakhia beserta para pengikutnya, mereka terima dengan hati kecewa Terutama sekali Abbas, sudah lama sebenarnya Abbas mengagumi keberanian dan kehebatan Ki Wakhia. Hanya sayang sekali, sampai saat itu, Abbas belum sempat mengenal lebih dekat. tentang ulama Sakti itu. Ki Qoshdu tampaknya telah memaklumi apa yang sedang dipikirkan putranya ketika itu. Maka, dengan suara yang penuh welas asih, Ki Qoshdu‑ menegur putranya dan menyadarkannya dari lamunan yang membuat Abbas menjadi lupa diri.
"Suatu saat kelak, engkau pasti mengenalnya anakku. Bukan hanya kita yang mengagumi pribadi Ki Wakhia. Tetapi hampir semua pemimpin rakyat menaruh rasa hormat kepada beliau. Betapa tidak!, andaikata saja Ki Wakhia bersikap masa bodoh dengan segala keluh‑kesah dan penderitaan rakyat yang tertindas penjajah Belanda. Sudah tentu hidupnya sekeluarga akan senang, Ki Wakhia ulama yang kaya raya, tak pernah kekurangan dan selalu bergelimang dengan harta. Tidak seperti keadaannya sekarang, hidupnya menderita dan selalu dikejar‑kejar pasukan Belanda. Namun, rupanya Ki Wakhia lebih suka memilih hidup sebagai seorang pejuang pembela rakyat. Dari pada bersenang‑senang di balik penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang terbelenggu oleh kekejaman penjajah Belanda". Ucap Ki Qoshdu memberi wejangan kepada Putranya.
"Tetapi, kenapa kita selalu berada dipihak yang kalah, Ayah !". Tanya Abbas seperti penasaran.
"Itulah risiko perjuangan anakku, kalau tidak mencapai kemenangan tentunya menderita kekalahan. Tetapi tidak selamanya kita berada dipihak yang kalah, hanya saja mungkin belum waktunya. Dalam setiap kekalahan kita tidak boleh berputus asa, harus dicari penyebabnya. Sebab, kebenaran dan keadilan pada akhirnya akan datang juga, menghapus setiap keburukan dan kejahatan di atas muka Bumi ini. Dan yang penting, kita harus terus mengobarkan semangat perjuangan sampai penjajah Belanda terusir dari tanah Banten. Sehingga rakyat terbebas dari penindasan dan pemerasan kaum penjajah". Jawab Ki Qoshdu dengan panjang lebar.

Mendengar kata‑kata Ayahnya, Abbas termenung di tempat duduknya. la baru menyadari sekarang, tentang arti perjuangan yang sesungguhnya. Hatinya semakin mantap serta pikirannya menjadi terang, seakan menambah semangat perjuangannya semakin tebal. Ki Qoshdu, hanya tersenyum saja menyaksikan perubahan yang terjadi pada putranya. Jiwa anak muda, memang selalu menuntut keterbukaan dan contoh yang baik.

Karena merasa tubuhnya di gerogoti usia yang semakin lanjut serta kondisi fisiknya semakin lemah. Ki Qoshdu mengundurkan diri dari kegiatan para pejuang. Kepada putranya, ia berpesan agar meneruskan perlawanan terhadap penjajah Belanda, selain itu, Ki Qoshdu berharap agar putranya terus menjalin hubungan baik dengan para pemimpin rakyat lainnya yang banyak bermunculan di Banten.
"Ada satu lagi permintaanku, anakku. Dan yang satu ini sudah sepantasnya dilaksanakan secepatnya, agar tubuh yang mulai sakit‑sakitan ini serta Ibumu yang sudah semakin tua, dapat tenang menghadapi sisa hidup yang tak lama lagi. Usiamu sudah matang dan cukup dewasa bagi seorang pria untuk mencari teman hidup. Tunggu apa lagi, anakku. Tangan ini rasanya sudah gatal ingin menimang seorang cucu". Demikian permintaan Ki Qoshdu kepada putranya.

Abbas tak bereaksi apa‑apa selain menundukkan mukanya menyembunyikan perasaan malu pada Ayahnya. Pada masa itu, memang kurang baik bagi seorang lelaki seusia Abbas belum beristri. Untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya, maka sekitar tahun 1841, Abbas mempersunting seorang gadis berparas cantik penuh keibuan. Wanita yang menjadi pilihannya itu bernama Nyi Mas Joharanah, salah seorang keturunan dari Mas Jong. Dua tahun kemudian setelah perkawinan mereka, tepatnya pada tahun 1843. Ketika itu, tanah Banten tengah diguncang berbagai kerusuhan yang, menentang kekejaman penjajah Belanda. Di saat kemarahan rakyat mulai bangkit melawan penindasan. Di mana‑mana terjadi kekacauan yang digerakkan oleh para pejuang pembela rakyat. Waktu itu, Banten dilukiskan sebagai daerah yang paling rusuh di Pulau Jawa. Kekacauan‑kekacauan yang timbul di seluruh Banten, tak ubahnya seperti cendawan yang tumbuh di musim hujan. Kenyataan ini tentu saja amat mengejutkan pemerintah kolonial Belanda. Mereka sedikitpun tidak mengira, bahwa rakyat Banten sebenarnya punya kesadaran bernegara yang cukup tinggi.

Dan pada saat situasi yang genting itulah, pasangan suami‑istri Abbas dan Nyi Mas Joharanah, dikaruniai seorang putra laki‑laki yang bertubuh sehat dan montok. Kehadiran jabang bayi yang telah lama dinantikan itu, membuat suka ria seluruh keluarga. Terutama sekali Ki Qoshdu, saat itu perasaan hatinya bukan main senangnya menyambut kehadiran cucunya. Ki Qoshdu kemudian menghampiri bayi yang tengah tertidur pulas di atas pembaringan, orang tua itu mendekatkan mukanya ke telinga kanan cucunya. Lalu kedua bibirnya berkomat‑kamit membaca sesuatu, apa yang sedang dikerjakannya. Ketika itu, Ki Qoshdu tengah memberkati cucunya dengan doa, agar kelak setelah dewasa. Cucu yang sangat disayanginya itu menjadi manusia yang saleh, serta dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk kepentingan rakyat dan negara.
"Jaga anak ini baik‑baik, kelak cucuku akan menggegerkan seluruh kawasan nusantara dan mengharumkan nama keturunan kita". Ujar Ki Qoshdu berpesan pada putranya.

Perasaan Ki Qoshdu yang sangat tajam, saat itu mengisyaratkan sesuatu pada batinnya tentang masa depan cucunya. Dan pandangannya yang awas, sekilas menangkap suatu tanda pada tubuh bayi yang masih merah itu. Memang demikianlah adanya, bahwa segala sesuatu yang akan terjadi di atas dunia ini, di awali oleh suatu tanda‑tanda. Hanya sayangnya, sebagian manusia tidak dapat memecahkan maknanya. Cuma kaum nelayan yang kerap kali mengikuti petunjuk rahasia Alam. Bukankah itu suatu bukti, betapa kasihnya Tuhan kepada umat-Nya. Tetapi manusia terkadang menjadi lupa diri, tidak tahu berucap terima kasih kepada Allah yang menciptakan Alam Semesta ini beserta segala isinya. Padahal, Allah setiap saat membuka pintu maaf seluas‑luasnya. Namun manusia selalu mengingkari-Nya, begitulah memang sifat manusia. Selalu tak pernah luput dari kekhilafan dan dosa.

Sebagai ucapan rasa terima kasih Abbas kepada Ayahnya, yang selama ini telah mendidik serta membimbingnya. Dan untuk selalu mengingatkannya kepada Ayahnya yang sangat dikasihinya itu. Abbas memberi nama putranya dengan nama Qosyid, sebuah nama yang mirip dengan nama Ayahnya Qoshdu.
Si kecil Qosyid, pada usia empat tahun, telah menunjukkan kecerdikan dan kecerdasan yang luar biasa, yang jarang dimiliki oleh anak seusianya. Segala yang diajarkan Ayahnya dan Kakeknya dapat dihafalnya di luar kepala. Menyaksikan kecerdasan Qosyid yang amat mengagumkan itu, Ki Qoshdu hanya menggeleng‑gelengkan kepala sambil tersenyum puas. Ki Qoshdu dan Abbas selanjutnya mendidik Qosyid dengan penuh ketekunan, sehingga dalam beberapa tahun saja, Qosyid telah dapat membaca Quran dengan cukup fasihnya. Di kemudian hari setelah usianya menginjak dewasa, Qosyid dikenal dengan nama Wasyid.
Suatu hari, seperti biasanya pada hari‑hari sebelumnya. Abbas melakukan perjalanan rahasia mengunjungi teman‑teman seperjuangannya. Hari itu, telah ditentukan pertemuan akan diadakan di suatu tempat di Desa Rohjambu. Pada pertemuan yang dihadiri beberapa orang pemimpin rakyat itu. Dibicarakan tentang rencana gerakan berikutnya, membuat kekacauan di rumah seorang pejabat pemerintah kolonial Belanda di Cilegon. Pejabat Belanda itu dikenal berhati kejam dan tak segan‑segan menyiksa penduduk yang melalaikan kewajibannya membayar pajak. Karena itu, diputuskan untuk memberikan hajaran kepadanya, agar tidak berbuat semena‑mena lagi kepada penduduk.

Ketika pertemuan berakhir, Abbas berkenalan dengan Lurah Nasid yang menjabat sebagai Kepala Desa Rohjambu. Tampaknya tanpa setahu atasannya, Lurah Nasid aktif melakukan gerakan sebagai salah- seorang pemimpin perlawanan rakyat yang gigih menentang penjajah Belanda. Sebagai seorang kepala desa, Lurah Nasid punya pengikut yang cukup banyak. Oleh sebab itu, di kalangan para pejuang ia cukup disegani dan dihormati. Hubungannya sangat luas dengan para pejuang dan Lurah Nasid banyak mengenal pemimpin perlawanan rakyat yang tersebar di seluruh Banten. Selain itu, di mata rekan‑rekannya, Lurah Nasid diketahui sebagai salah seorang pengikut Ki Wakhia yang setia.

Meskipun keduanya baru saja bertemu dan saling mengenal, mereka kelihatannya akrab sekali. Seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak pernah berjumpa. Keduanya asyik bercerita tentang pengalaman masing-masing. Dan tentu saja, yang paling banyak mereka bicarakan adalah tentang perjuangan melawan penjajah Belanda. Dari cerita Lurah Nasid inilah, Abbas dapat mengenal lebih dekat mengenai pribadi Ki Wakhia yang dikaguminya itu. Sejak itu, Lurah Nasid sering berkunjung ke rumah Abbas di Kubang Panggang. Begitu pula sebaliknya, tak jarang Abbas menemui sahabatnya di Desa Rohjambu memperbincangkan tentang berbagai persoalan yang menyangkut perjuangan mereka. Persahabatan antara mereka berdua tampaknya semakin erat.

Tahun 1847 Ki Wakhia kembali dari tanah suci, ulama yang dicintai rakyat itu, memang luar biasa beraninya. Tanpa rasa takut sedikit pun terbayang di wajahnya, Ki Wakhia pulang ke kampung halamannya di Gudang Batu menemui keluarganya yang telah bertahun‑tahun ditinggalkan. Kehadiran Ki Wakhia yang tak diduga‑duga itu, disambut dengan perasaan suka cita oleh seluruh keluarga dan para pengikutnya. Berita tentang kedatangan ulama yang sangat berpengaruh itu, dengan cepat tersebar di kalangan para pemimpin perlawanan rakyat. Entah kenapa, nama Ki Wakhia seperti memiliki daya tarik luar biasa yang memompa semangat serta keyakinan para pejuang menjadi berlipat ganda.

Pihak pemerintah kolonial Belanda di Serang, juga telah mendengar tentang kembalinya Ki Wakhia ke Gudang Batu. Namun, pihak Belanda kelihatannya bersikap amat hati‑hati dalam menghadapi Ki Wakhia. Pihak Belanda tidak melakukan tindakan apa‑apa terhadap Ki Wakhia, selama ulama besar itu tidak melakukan perbuatan yang dinilai membahayakan dan merongrong kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Tetapi sebaliknya, sikap dan pendirian Ki Wakhia sedikit pun tidak berubah. Sebagai seorang ulama dan pejuang pembela rakyat, keyakinannya tetap tegar tak tergoyahkan. Apalagi, saat itu batinnya tengah mendapat pukulan yang amat hebat. Ki Wakhia mendengar berita dari istrinya, tentang nasib buruk yang menimpa putri kesayangannya Nyi Mas ljo. Kabar mengenai minggatnya Nyi Mas ljo dari rumah, mau tak mau mengguncangkan perasaannya. Pedih rasanya kalau memikirkan semua itu. Kebenciannya pada orang Belanda kian menjadi‑jadi. Ditambah lagi, Ki Wakhia menyaksikan keadaan rakyat yang semakin menderita dan terbelenggu oleh tekanan penjajah Belanda. Air muka sang ulama tampak keruh, melihat kenyataan yang sangat memilukan itu.

Suatu hari, Lurah Nasid menyambangi sahabatnya Abbas di Kubang Panggang. Kepada sahabatnya, Lurah Nasid mengutarakan maksudnya hendak memperkenalkan Abbas pada Ki Wakhia. Hari itu ia memang berniat menjenguk Ki Wakhia yang baru saja beberapa bulan tiba dari Mekah. Tentu saja maksud baik Lurah Nasid diterima Abbas dengan senang hati. Abbas telah lama menunggu kesempatan yang amat berharga itu, kepergiannya kali ini, Abbas membawa serta putranya, Qosyid yang berusia hampir lima tahun. Maka berangkatlah kedua orang sahabat itu ke Gudang Batu. Kedatangan mereka berdua diterima Ki Wakhia dengan ramah, setelah dipersilahkan duduk, Lurah Nasid memperkenalkan Abbas kepada sang ulama.
"Bagaimana kabarnya selama aku tidak ada", Tanya Ki Wakhia memulai pembicaraan.
"Baik, kiyai. Kami bersama teman‑teman masih terus melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda". Jawab Lurah Nasid menjelaskan.
"Syukurlah !, itu memang sudah menjadi kewajiban kita semua. Kita tidak bisa membiarkan penindasan terjadi di depan mata dan hidung kita. Apa lagi yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang tak tahu apa‑apa. Kita sudah sepatutnya melindungi dan membela mereka yang tak berdaya upaya dari segala kekejaman.Teruskan perjuangan suci kalian dalam membela kebenaran". Kata Ki Wakhia dengan suara agak berat.
"Maafkan sebelumnya atas kelancangan kami berdua kiyai, ada sebuah pertanyaan yang selalu mengganjal di hati kami serta para pemimpin perlawanan lainnya". Ujar Lurah Nasid dengan sikap yang menghormat sekali.
"Katakaniah, apa yang ingin kalian tanyakan". Tegur sang ulama.
"Apakah kiyai berkeinginan memimpin perlawanan seperti dulu lagi?, kami semua beserta tokoh‑tokoh pergerakan setiap saat siap berdiri di belakang kiyai. Mereka sudah sangat rindu menantikan kehadiran kiyai di tengah-tengah rakyat."
Lurah Nasib dengan amat hati‑hati mengutarakan maksud kedatangannya. Mendengar apa yang diucapkan tamunya, Ki Wakhia terdiam beberapa detik lamanya. Hatinya begitu terharu atas kesetiaan para pengikutnya yang telah bertahun‑tahun ditinggalkannya. Ingin rasanya ketika itu juga sang ulama bertatap muka dengan para murid serta pengikutnya. Tetapi setelah menarik nafas dalam.dalam, terdengarlah suaranya yang agak serak seperti menahan keharuan.
"Masih terlalu pagi memperbincangkan persoalan yang sangat penting itu, Nasid. Aku masih ingin beristirahat dan menenangkan pikiran untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi bukan berarti aku melupakan kalian semuanya. Percayalah, suatu ketika nanti, aku pasti berada di antara kalian kembali. Kita akan sama‑sama menyingsingkan lengan baju, serta sepenanggungan dalam merasakan susah dan senangnya memperjuangkan cita‑cita ,luhur kita. Sampaikan ucapanku ini kepada para pejuang semua." Ujar Ki Wakhia menegaskan pendiriannya.
"Baiklah kiyai, segala pesan kiyai akan saya sampaikan kepada teman-teman. Dan mudah‑mudahan akan menjadi obor yang menerangi jalan para pejuang." Kata Lurah Nasib bersemangat.
Ki Wakhia hanya menganggukkan kepalanya mendengar perkataan Lurah Nasid. Sepasang matanya yang tajam melirik kearah Qosyid yang berada dalam pangkuan Ayahnya. Seperti ada sesuatu yang mengundang perhatian sang ulama. Ditelitinya anak itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, seperti tengah menaksir barang yang hendak dibelinya. Sementara yang dipandangi hanya berdiam diri saja dengan acuh tak acuh. Ki Wakhia tampaknya kagum sekali menyaksikan penampilan serta sosok tubuh Qosyid. Dari tadi anak itu tak bergeming dari tempatnya dengan anteng sekali, seakan turut menjadi pendengar apa yang mereka bicarakan.
"Bukan main anak ini, sepasang matanya begitu tajamnya dan seperti punya pengaruh yang luar biasa. Siapa namamu anak baik?". Tanya Ki Wakhia dengan lembutnya.
"Nama saya Qosyid, Pak Kiyai."Jawabnya dengan suaranya yang nyaring dan lantang.
"Bagus, sekecil ini sudah pandai bicara." Kata sang ulama memuji.
"Lain waktu, mudah‑mudahan Tuhan masih memberi umur panjang pada kita sekalian. Bawalah anak ini kemari dan tinggallah barang satu‑dua tahun. Agar aku mendapat kesempatan mendidiknya." Kata Ki Wakhia dengan nada bersungguh‑sungguh.
"Terima kasih sebelumnya, kiyai. Maksud baik kiyai terhadap putra saya, akan saya ingat baik‑baik." Ucap Abbas dengan perasaan gembira.

Karena merasa sudah cukup lama bertamu di kediaman Ki Wakhia. Keduanya lalu meminta diri dan kemudian pulang ke rumah masing‑masing dengan perasaan puas. Sejak pertemuan mereka dengan ulama terkemuka itu di Gudang Batu beberapa waktu yang lalu, semangat patriotisme Lurah Nasid dan Abbas semakin tebal terpatri di dada mereka. Begitu pula dengan rekan-rekan seperjuangan lainnya, berita tentang kehadiran kembali Ki Wakhia di Gudang Batu, seakan memberi dorongan kepada mereka untuk melipat gandakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti kemudian, kelompok perlawanan yang dipimpin Lurah Nasid dan Abbas, berkali‑kali berhasil melakukan penyerangan di rumah beberapa pejabat pemerintah kolonial Belanda dan sempat membuat panik pasukan Belanda.
Pada sekitar tahun 1849, utusan khusus residen Banten di Serang mendatangi rumah Ki Wakhia di Gudang Batu. Petugas Belanda itu mendapat perintah menyampaikan surat panggilan dari residen Banten untuk Ki Wakhia. Dalam surat tersebut, antara lain berisi peringatan keras residen yang ditujukan pada Ki Wakhia. Bahwa hingga hari itu, Ki Wakhia tidak pernah memenuhi kewajibannya membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu, Ki Wakhia diharuskan menghadap ke kantor residen di Serang untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya dan sekaligus membayar denda yang jumlahnya akan ditentukan kemudian.

Sementara itu, Ki Wakhia yang menerima surat panggilan dari residen Banten. Menanggapinya dengan sikap meremehkan, bahkan kepada utusan residen yang menunggu jawabannya. Ulama Gudang Batu itu berucap dengan kata‑kata yang cukup pedas.
"Katakan pada residen Banten, surat ini sudah aku terima. Tetapi jangan harap, aku akan datang menemuinya di Serang. Aku tidak rela, sepeser pun dari harta yang kumiliki, tidak akan pernah kuberikan kepada orang‑orang Belanda itu."Kata Ki Wakhia dengan suaranya yang ketus.
"Ba. . ., baik Pak kiyai. Akan saya sampaikan pada Tuan residen." Jawab utusan Belanda itu dengan suara tergagap dan air mukanya berubah agak pucat. Karena khawatir akan menjadi sasaran kemarahan Ki Wakhia, dengan penuh ketakutan, utusan Belanda itu bergegas pergi meninggalkan rumah Ki Wakhia: Kepada atasannya, ia melaporkan semua ucapan serta perlakuan kasar dari ulama Gudang Batu. Kendatipun mendapat pengaduan yang tidak enak dari bawahannya, tetapi pihak pemerintah kolonial Belanda kelihatannya masih menahan diri. Meskipun sudah jelas, secara terang‑terangan Ki Wakhia melakukan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda untuk yang kesekian kalinya. Namun pihak Belanda tidak mengambil tindakan apa‑apa terhadap ulama Gudang Batu itu.
Setelah kepergian utusan residen yang sempat membuatnya menjadi berang. Ki Wakhia membanting tubuhnya di atas sebuah kursi dengan pikiran yang kusut. Wajahnya tampak tegang dan benaknya menerawang jauh ke depan. Ki Wakhia sebenarnya telah maklum, tentang akibat dari tindakannya tadi. Tapi ia tak perduli, apapun risikonya, akan dihadapinya demi membela martabat keluarga dan harga diri sebagai seorang ulama yang menjadi tumpuan rakyat. Ki Wakhia tampaknya menyadari, bahwa selama Banten masih dibelenggu kaum penjajah yang menghisap darah rakyat. la tak dapat berpangku tangan membiarkan kekejaman terus berlangsung yang membuat rakyat semakin sengsara dan menderita. Mungkin sudah saatnya bagi Ki Wakhia untuk kembali memimpin rakyatnya mengangkat senjata menentang kaum. penjajah. Demikian angan‑angan yang terlintas di kepala Ki Wakhia ketika itu.

Beberapa bulan kemudian, ulama Gudang Batu itu mendapat kunjungan dari salah seorang tokoh perlawanan rakyat, namanya Tubagus Iskak. Seperti diketahui, Tubagus Iskak sebelumnya pernah menduduki jabatan sebagai kepala Desa Kedung Cindik. Namun, karena ia dianggap tidak becus melaksanakan tugasnya dan dinilai terlalu memihak pada kepentingan penduduk. Pemerintah kolonial Belanda, kemudian memecat Tubagus Iskak dengan tidak hormat dari jabatan kepala desa. Mendapat perlakuan yang tidak semestinya itu, tentu saja membuat Tubagus Iskak menjadi tersinggung. la merasa telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kolonial Belanda. Perasaan tidak sukanya pada orang Belanda yang selama ini disimpannya di dalam hati, berubah menjadi kebencian yang meluap‑luap. Sejak peristiwa itu, Tubagus Iskak diketahui bergabung dengan para pejuang. la sangat aktif memimpin kelompok perlawanan rakyat.

Kehadiran Tubagus Iskak di Gudang Batu saat itu, dalam upaya membujuk Ki Wakhia agar bersedia memegang pucuk pimpinan para pejuang. Pada pertemuan tersebut, Tubagus Iskak memaparkan tentang keadaan para pejuang akhir‑akhir ini. Dijelaskannya bahwa gerakan memusuhi penjajah Belanda, telah menyebar ke beberapa daerah seperti, Serang, Cilegon dan Pulo Merak. Bahkan, menurut cerita Tubagus Iskak, penduduk Banten yang berada di Lampung. Sebagian telah berkumpul di suatu tempat di Merak, setiap saat mereka siap bergabung dengan para pejuang untuk melakukan serangan terhadap Belanda.
"Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan seorang pimpinan yang punya pengaruh besar serta disegani oleh seluruh para pejuang. Hanya kiyailah orangnya yang pantas menduduki jabatan itu." Kata Tubagus Iskak bersungguh‑sungguh dengan nada setengah memohon.

Agak lama Ki Wakhia merenungkan permintaan tamunya, tampaknya ia tengah mempertimbangkan masak‑masak apa yang harus dilakukannya pada saat itu. Akhirnya, terdengar juga jawaban Ki Wakhia dengan suaranya yang lantang.
"Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi kehendak kalian. Aku tidak bisa menolaknya. Bulan depan, kita semua berkumpul di sini untuk mematangkan rencana kita selanjutnya. Dan sekalian kita bertemu muka agar lebih saling mengenal di antara sesama teman seperjuangan." Ujar Ki Wakhia menegaskan.
"Terima kasih, atas segala kesediaan kiyai." Ucap Tubagus Iskak dengan perasaan puas dan lega.
Pada waktu dan hari yang telah ditentukan, seluruh pemimpin perlawanan rakyat berkumpul di Gudang Batu. Mereka yang hadir pada pertemuan rahasia itu. Antara lain, penghulu Dempol, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Lurah Nasid dan Abbas. Ketika menghadiri pertemuan yang amat penting itu, Abbas tak lupa membawa serta Qosyid yang selanjutnya dititipkan pada Ki Wakhia. Agar putranya dapat menuntut ilmu dari ulama terkemuka itu sesuai dengan janji beliau beberapa waktu yang lalu.
Suasana di tempat pertemuan, ketika itu tampak hening sekali. Tak satu pun yang hadir berani membuka mulutnya memulai pembicaraan. Para pemimpin perlawanan rakyat yang berjumlah enam orang telah mengambil tempatnya masing‑masing, duduk bersila di atas hamparan tikar dengan sikap yang amat menghormat sekali. Semua mata tertuju ke arah Ki Wakhia yang duduk dengan tenangnya, penampilan ulama Gudang Batu itu punya pengaruh yang sangat mengagumkan seluruh yang hadir. Setelah berdehem beberapa kali, terdengarlah suaranya yang menggema penuh wibawa.
"Saudara‑saudara seperjuangan, pertemuan kita kali ini. Selain untuk lebih saling mengenal serta mempererat tali persahabatan di antara kita. Tujuan utama pada pertemuan yang amat penting ini, adalah, sebagai pimpinan perjuangan perlawanan rakyat. Saya ingin mengetuk hati saudara‑saudara semua, agar terus meningkatkan semangat berjuang yang berkobar di dalam dada kita masing‑masing, seperti nyala api yang tak pernah padam. Sebab, tanpa didasari semangat serta keyakinan yang tebal, kita tidak akan pernah mencapai kemenangan seperti yang kita cita‑citakan bersama. Oleh karena itu, untuk mengacaukan perhatian pemerintah kolonial Belanda, kita akan memusatkan markas perlawanan di tiga daerah. Pertama, saya sendiri bersama penghulu Dempol, akan mengerahkan penduduk dari Gudang Batu. Kedua, Mas Derik, Lurah Nasid dan Abbas, memimpin perlawanan dari Cilegon dan Pulo Merak. Dan yang ketiga, Tubagus Iskak serta Mas Diad, memusatkan para pejuang di Banten. Dengan demikian, diharapkan upaya perlawanan kita, akan mendapat kemajuan yang pesat."

Begitulah petunjuk yang diberikan Ki Wakhia kepada para pengikutnya. Semua yang hadir mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak satu pun ada yang membantah perkataan pemimpin mereka. Beberapa saat kemudian, mereka membubarkan diri dan kembali ke tempatnya masing‑masing, untuk menyampaikan pesan Ki Wakhia kepada rekan‑rekan lainnya.

Dalam pada itu, Qosyid yang ditinggalkan ayahnya di Gudang Batu. Amat rajin belajar ilmu agama di bawah pengawasan langsung Ki Wakhia. Ketika itu, sebenarnya usia Qosyid baru menginjak enam tahun lebih. Tetapi karena otaknya luar biasa cerdasnya, dengan mudah Qosyid dapat mengingat semua pelajaran yang diberikan oleh Ki Wakhia. Menyaksikan kepandaian muridnya yang satu ini, Ki Wakhia bukan main senangnya. Hanya sayangnya, akibat situasi yang tidak mengijinkan. Qosyid cuma sempat kurang lebih enam bulan mengenyam pendidikan dari Ki Wakhia. Waktu itu, pihak pemerintah kolonial Belanda di Serang, telah mencium tentang perlawanan rakyat yang dipusatkan di Gudang Batu. Menurut perhitungan Ki Wakhia, setiap saat pertempuran akan terjadi secara tiba‑tiba. Karena mengkhawatirkan keselamatan Qosyid, dengan berat hati Ki Wakhia mengembalikan Qosyid kepada orang tuanya di Kubang Panggang. Kendatipun begitu, Qosyid menyimpan kesan yang amat mendalam tentang pribadi gurunya. Yang kelak akan mempengaruhi pembentukan watak dirinya setelah usianya beranjak menjadi dewasa.

Minggu kedua bulan Pebruari tahun 1850, di suatu tempat yang dirahasiakan di Desa Rohjambu, Cilegon. Tiga orang pemimpin perlawanan rakyat, Lurah Nasid, Abbas serta Mas Derik, terlibat perundingan yang amat penting. Pada pertemuan tersebut, ketiga tokoh perlawanan itu tengah membicarakan perihal tingkah laku Demang Cilegon yang dinilai sangat meresahkan penduduk. Dari sekian banyak pengaduan penduduk yang mereka terima. Dilaporkan, bahwa Demang Cilegon sering kali bertindak kejam terhadap rakyat kecil. la tak segan‑segan menyiksa penduduk yang diduga membangkang terhadap peraturan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, akhir‑akhir ini tindakan Demang Cilegon semakin menjadi‑jadi saja. Rakyat sudah bosan dan muak menyaksikan ulahnya yang tak berperi kemanusiaan itu.

"Bedebah!, kelakuan Demang itu keterlaluan sekali. Lagaknya sudah seperti orang Belanda saja." Umpat Mas Derik dengan geramnya.
"Namanya saja penjilat, apapun akan dilakukannya untuk menyenangkan hati Tuannya." Kata Lurah Nasid menimpali.
"Itu memang benar, tapi yang harus kita pikirkan sekarang. Bagaimana upaya kita melindungi penduduk dari perbuatan Demang yang sangat brutal itu." Ujar Abbas, seperti mengingatkan teman‑temannya.
"Kita harus menghajar Demang keparat itu biar tahu rasa. Sebab, kalau kita biarkan saja, kekejamannya akan semakin menjadi‑jadi."Ucap Lurah Nasid memutuskan.

Kedua temannya tampaknya setuju dengan usul yang diajukan Lurah Nasid. Mereka kemudian mengatur rencana, menentukan saat yang tepat untuk memberi hajaran pada Demang Cilegon. Kebetulan sekali, menurut informasi dari Lurah Nasid. Pada tanggal 24 Pebruari 1850, Demang Cilegon beserta stafnya akan melakukan kunjungan kerja ke Desa Rohjambu. Maka ketiganya bersepakat, pada kesempatan yang amat baik itu, mereka akan mengerahkan para pejuang untuk menyerang Demang Cilegon dan stafnya sebelum memasuki Desa Rohjambu. Untuk menghindarkan kecurigaan pemerintah kolonial Belanda pada Lurah Nasid, yang ketika itu masih menjabat sebagai kepala Desa Rohjambu. Diputuskan, pada penyerangan kali ini Lurah Nasid tidak diikut sertakan.

Maka pada tanggal yang telah ditentukan, yaitu saat kunjungan Demang Cilegon beserta stafnya ke Desa Rohjambu. Sejak pagi‑pagi sekali, puluhan pejuang yang dipimpin Abbas dan Mas Derik. Telah mengambil posisi bersembunyi di balik pohon serta semak‑semak yang rimbun di ujung jalan masuk ke Desa Rohjambu. Ketika itu, mereka tengah menantikan Demang Cilegon dan stafnya yang sebentar lagi akan melalui jalan itu. Sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, di jalan desa itulah mereka akan melakukan pencegatan terhadap Demang Cilegon dan stafnya untuk mgmbalas sakit hati penduduk.

Tak lama kemudian, dari kejauhan mereka melihat kedatangan Demang Cilegon bersama stafnya. Seluruh para pejuang bersiap‑siap dengan senjata tergenggam di tangan, sambil menantikan saat‑saat yang cukup menegangkan. Sementara itu, tanpa menyadari akan bahaya yang tengah mengancam, dengan tenangnya, Demang Cilegon beserta bawahannya berlalu melewati jalan desa yang telah terkurung para pejuang.
Bersamaan dengan itu, bermunculan puluhan pejuang dari kiri‑kanan jalan, langsung menyerbu ke arah Demang Cilegon dan stafnya. Mendapat serangan yang tiba‑tiba, Demang Cilegon beserta stafnya tak sempat melakukan perlawanan sedikit pun. Para pejuang dengan kemarahan meluap‑luap, menghajar antek‑antek penjajah Belanda itu dengan penuh kebencian. Seluruh tubuh Demang Cilegon dan stafnya penuh dengan beberapa luka yang menganga, akibat dari bacokan dan hantaman senjata tajam. Suara rintihan mulai terdengar dari mulut mereka, karena menahan rasa sakit yang tak terhingga.

Tapi para peryerbu sedikit pun tak menghiraukannya, mereka seperti kesetanan menghajar Demang Cilegon dan stafnya hingga babak belur. Baru setelah menyaksikan korbannya terkulai di tanah dalam keadaan tak berdaya, para pejuang menghentikan amukannya. Dan ketika memastikan korbannya telah menjadi mayat, dengan cepat mereka menyingkir dari tempat kejadian, lalu menghilang di balik semak di antara pohon‑pohon besar yang banyak tumbuh di sekitarnya. Suasana jalan Desa Rohjambu kembali sunyi seperti sedia kala, hanya mayat Demang Cilegon beserta stafnya yang masih tergeletak malang‑melintang dalam keadaan mengerikan.

Peristiwa terbunuhnya Demang Cilegon dan stafnya di Desa Rohjambu, dianggap sebagai suatu tamparan terhadap wibawa pemerintah kolonial Belanda. Residen Banten amat terkejut dan merasa malu mendengar berita itu. Ketika itu juga, Residen memerintahkan bawahannya untuk mengusut peristiwa memalukan itu dan menangkap semua pelaku yang terlibat pembunuhan di Desa Rohjambu. Satu regu pasukan Belanda yang kemudian dikirim ke tempat kejadian, menemui kegagalan membekuk para pelaku pembunuhan, yang telah lebih dulu menyelamatkan diri ke daerah yang aman. Di tempat itu, pasukan Belanda cuma menemukan mayat‑mayat korban pembunuhan yang bergelimpangan di tengah jalan di tepi Desa Rohjambu.
Namun pemerintah kolonial Belanda tidak berhenti sampai di situ. Dengan muka merah padam, Residen Banten memutuskan untuk mengejar para pelaku hingga tertangkap. Upaya polisi Belanda yang kemudian melakukan pengejaran terhadap pelaku pembunuhan Demang Cilegon dan stafnya, tampaknya banyak menemui kesulitan dalam mengungkap peristiwa tersebut. Beberapa desa dan kampung yang diduga dijadikan tempat persembunyian para pelaku digeledah, namun yang dicari tak juga dijumpai. Polisi Belanda kelihatannya mulai tak sabar, menghadapi kenyataan yang menjemukan itu. Pihak penjajah Belanda kemudian memperagakan tingkah laku kasar dan kejam yang menyakitkan hati rakyat.

Penduduk yang dicurigai ditangkap dan diperiksa dengan cara kekerasan untuk mengorek keterangan dari mulut mereka. Dengan cara yang amat keji itulah, polisi Belanda memaksa penduduk membuat pengakuan. Akhirnya, pemerintah kolonial Belanda mendapat titik‑titik terang tentang peristiwa Desa Rohjambu. Dari beberapa penduduk yang terpaksa memberikan keterangan, diperoleh petunjuk bahwa Lurah Nasid terlibat dalam perkara pembunuhan Demang Cilegon dan stafnya.

Tanpa membuang waktu, polisi Belanda melakukan penggerebegan secara mendadak di tempat kediaman Lurah Nasid di Desa Rohjambu. Hasilnya, lagi‑lagi pihak Belanda terpaksa gigit jari dengan perasaan mendongkol. Kenapa, ternyata rumah Lurah Nasid didapati dalam keadaan kosong tak berpenghuni. Tampaknya Lurah Nasid telah menyadari rahasianya tercium pihak Belanda. Oleh karena itu, sebelum polisi Belanda mendatangi rumahnya, Lurah Nasid membawa pergi keluarganya mengungsi ke tempat lain. Hampir dua bulan polisi Belanda bekerja keras melakukan penyidikan dan pengejaran terhadap Lurah Nasid serta para pelaku lainnya. Dari sekian banyak keterangan dan catatan yang berhasil dikumpulkan pihak Belanda.
Didapat petunjuk yang kuat, Lurah Nasid dan teman‑temannya diketahui bersembunyi di Gudang Batu. Bahkan, dari hasil penyelidikan pihak Belanda. Diduga keras, Ki Wakhia tengah menghimpun para pengikutnya untuk melakukan penyerangan terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Dengan serangkaian bukti‑bukti tersebut di atas, pihak Belanda berkesimpulan, tindakan Ki Wakhia kali ini sudah sangat membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu, pihak Belanda menanggapi dengan serius ancaman yang datangnya dari Ki Wakhia dan para pengikutnya. Sejumlah pasukan berkekuatan cukup besar disiapkan untuk menumpas Ki Wakhia dan para pengikutnya.
Apa yang dikhawatirkan pemerintah kolonial Belanda, memang tidak meleset. Sejak beberapa waktu yang lalu, para pelaku pembunuhan Demang Cilegon dan stafnya yang dicari‑cari polisi Belanda ternyata bersembunyi di Gudang Batu. Kehadiran Lurah Nasid, Mas Derik, Abbas serta teman‑temannya di Gudang Batu, disambut dengan senang hati oleh Ki Wakhia. Hanya saja, Ki Wakhia seperti punya firasat yang tidak baik. Hati kecilnya mengatakan, cepat atau lambat pihak Belanda akhirnya akan mengetahui juga tempat persembunyian mereka. Dan sudah tentu pemerintah kolonial Belanda tidak tinggal diam. Pihak Belanda diperkirakan akan mengerahkan pasukannya menyerbu Gudang Batu untuk menangkap para pelaku pembunuhan Demang Cilegon beserta stafnya. Dengan demikian, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.
Hal itulah yang mengganggu pikiran Ki Wakhia. Soalnya, biar bagaimana pun is tak mungkin berpangku tangan membiarkan pengikutnya ditangkap pasukan Belanda. Agak lama Ki Wakhia terdiam sambil memutar otaknya, setelah dipertimbangkan masak‑masak. Ki Wakhia memutuskan, untuk memusatkan seluruh para pejuang berkumpul di Gudang Batu. la bertekad akan menghadapi kemungkinan serangan pasukan Belanda yang setiap saat bisa terjadi. Sebagai langkah pertama, Ki Wakhia mengutus seorang muridnya menghubungi beberapa pemimpin perlawanan rakyat, dengan tugas menyampaikan undangan dari Ki Wakhia untuk mengadakan pertemuan rahasia di Gudang Batu. Dalam pesannya yang disampaikan kepada muridnya, Ki Wakhia juga mengharapkan dengan sangat agar setiap pemimpin perlawanan rakyat membawa serta para pejuang yang menjadi pengikutnya.

Beberapa hari kemudian setelah kepergian muridnya, terlihat kesibukan yang luar biasa di Gudang Batu. Secara diam‑diam, para pejuang pengikut Ki Wakhia mulai berdatangan dari seluruh penjuru Banten. Sebagian besar pemimpin perlawanan rakyat, telah berkumpul di suatu tempat di Gudang Batu. Mereka yang hadir di antaranya, penghulu Dempol, Tubagus Iskak, Mas Diad, Lurah Nasid, Abbas, Mas Derik, serta seorang tokoh perlawanan rakyat yang mewakili para pejuang Banten yang berada di Lampung. Saat itu mereka tengah menunggu kehadiran Ki Wakhia yang akan menyampaikan berita penting, tentang kelanjutan perjuangan menghadapi penjajah Belanda. Tak lama kemudian, Ki Wakhia memasuki ruangan pertemuan dengan langkah yang tenang sekali. Setelah memberi salam kepada semua yang hadir, Ki Wakhia mengambil tempat duduk menghadap ke arah para pengikutnya dengan air muka yang bersungguh‑sungguh.
"Saudara‑saudara, terlebih dulu saya ucapkan selamat datang di Gudang Batu. Hari ini, ada persoalan penting yang akan kita perbincangkan bersama-sama. Menurut hasil penyelidikan teman‑teman kita yang berhasil menyusup ke Serang. Diperoleh kabar, bahwa pihak Belanda sedang mempersiapkan pasukan yang cukup besar jumlahnya untuk menyerbu Gudang Batu. Hal itu memang sudah kita duga jauh sebelumnya. Seperti telah kalian ketahui, peristiwa terbunuhnya Demang Cilegon beserta stafnya di Desa Rohjambu, membuat pihak Belanda seperti kebakaran jenggot. Selain itu, kehadiran saudara‑saudara kita yaitu Lurah Nasid, Abbas, serta Mas Derik dl Gudang Batu ternyata telah diketahui pihak Belanda. Akibatnya, permusuhan secara terbuka dengan pihak Belanda tidak bisa kita hindari lagi. Situasi seperti ini, sebenarnya telah lama kita tunggu. Oleh sebab itu, peluang yang sangat berharga ini kita pergunakan sebaik‑baiknya untuk menghantam pihak musuh. Kita songsong pasukan Belanda dengan seluruh kekuatan yang ada pada kita. Mari saudara‑saudara, kita hancurkan kaum penjajah demi perjuangan suci mempertahankan hak dan kebenaran."

Suara Ki Wakhia terdengar begitu berapi‑api, seakan membangunkan semangat para pemimpin perlawanan rakyat, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian. Tokoh‑tokoh yang hadir pada pertemuan tersebut, menyambut ucapan pemimpin mereka dengan teriakan‑teriakan setuju yang menggema sampai keluar ruangan. Suasana Desa Gudang Batu ketika itu, tampak sibuk sekali. Para pejuang terlihat hilir‑mudik mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi perang besar melawan penjajah Belanda. Mereka kelihatannya begitu bersemansat sekah, sedikit pun tak ada rasa gentar membayang pada wajah para pejuang. Tekad mereka telah bulat dan siap mempertaruhkan segalanya demi membebaskan rakyat Banten dari kesengsaraan dan penindasan.

Detik‑detik menegangkan yang dinantikan para pejuang pembela rakyat dengan penuh kewaspadaan, akhirnya tiba juga. Dari laporan seorang penyelidik yang ditugaskan mengawasi gerak‑gerik musuh. Diketahui, pasukan Belanda telah bergerak mencapai Keramat Watu. Tanpa membuang waktu, Ki Wakhia dengan cepat mengerahkan ratusan orang pengikutnya mencegat pasukan Belanda di Tegal Papak. Ketika itu, Ki Wakhia memerintahkan para pengikutnya menyerang pasukan Belanda di perkebunan nenas milik penduduk. Dengan harapan, situasi medan pertempuran akan menyulitkan gerak maju pasukan Belanda.
Hari itu, tanggal 3 Mei 1850, pecah perang Gudang Batu kedua. Suatu peristiwa heroisme rakyat Banten, yang kembali mengangkat senjata menentang kaum penjajah. Tegal Papak berubah nienjadi kancah peperangan yang amat hebat. la seakan turut menjadi saksi bisu, betapa kejamnya manusia saat itu. Kilatan lidah api yang menyembur dari moncong senjata, berbaur menyatu dengan suara beradunya senjata tajam, membuat suasana menjadi sangat bising sekali. Kedua belah pihak berusaha saling menggempur dan saling bunuh. Para pejuang pengikut Ki Wakhia, yang bersorak‑sorai dengan gegap‑gempita penuh semangat, dengan gigihnya berupaya mendesak lawan ke tengah‑tengah perkebunan nenas yang banyak tumbuh di sekitar medan pertempuran.

Sementara puluhan pasukan. Belanda bersenjata lengkap. Sebaliknya, seperti tak memberikan kesempatan pada para pengikut Ki Wakhia, untuk bergerak lebih jauh. Muntahan peluru yang terus dihamburkan pasukan Belanda, tampaknya mulai menyulitkan para pejuang.

Korban sudah banyak berjatuhan dari kedua pihak yang saling bertempur. Seorang letnan tentara Belanda berhasil dibunuh oleh para pejuang. Peperangan yang berkecamuk di Tegal Papak, telah berlangsung cukup lama dengan amat serunya. Dan akibatnya, sudah mulai terlihat pihak mana yang menderita kekalahan besar. Kendatipun para pejuang berperang dengan semangat yang berkobar‑kobar. Namun mereka tak mampu bertahan dari berondongan peluru yang berdesingan mencari korban. Para pejuang begitu paniknya menghadapi keadaan yang amat tidak menguntungkan. Ki Wakhia dan para pengikutnya kalang‑kabut menghindarkan diri dari tembakan yang dilancarkan pasukan Belanda. Terpaksa mereka hanya bisa bertahan sambil berusaha melangkah mundur.

Melihat keadaan para pejuang yang tercerai berai tak berdaya. Ki Wakhia tak sampai hati mengorbankan para pengikutnya. la kemudian memerintahkan semua pengikutnya menyudahi peperangan dengan jalan mengundurkan diri dari medan laga. Tapi upaya para pejuang untuk menyelamatkan diri, ternyata tak semudah itu. Pasukan Belanda terus merangsek lawannya dengan berondongan peluru yang membabi buta. Situasi menjadi semakin bertambah gawat. Akhirnya, para pengikut Ki Wakhia berlari kocar‑kacir sejadi‑jadinya.

Tetapi, tak sedikit para pejuang yang ditawan pasukan Belanda. Termasuk di antaranya Lurah Nasid, Mas Diad, serta Mas Derik. Sedangkan Ki Wakhia, Tubagus Iskak, Abbas, dan para pejuang lainnya berhasil menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Belanda.

Akibat kekalahan yang diderita Ki Wakhia dan pengikutnya dalam pertempuran di Tegal Papak, memang amat menyedihkan sekali. Pasukan Belanda yang melakukan operasi pengejaran terhadap Ki Wakhia dan para pengikutnya. Kembali memperlihatkan kekeiamannya dan kelicikan yang sangat menyakitkan hati rakyat. Betapa tidak, pasukan Belanda sedikit pun seperti tak punya rasa kasihan. Desa‑desa yang diduga dijadikan tempat persembunyian para pejuang pengikut Ki Wakhia di bumi hanguskan. Asap hitam yang membumbung tinggi serta kobaran api yang menjilat rumah‑rumah penduduk, ditambah lagi dengan jerit tangis memilukan dari penduduk yang kehilangan tempat tinggal. Tampaknya, pasukan Belanda hanya menganggapnya sebagai suatu tontonan yang menyenangkan, ironis sekali. Bahkan, pasukan Belanda bertindak lebih jauh lagi. Penduduk diintimidasi dan disiksa hanya untuk mengorek keterangan dari mulut penduduk tentang persembunyian para pejuang.

Yang lebih keji lagi, pemerintah kolonial Belanda kemudian menyebar fitnah di mana‑mana. Begitulah sifat penjajah, mereka tak segan‑segannya mengadu domba sesama penduduk. Rakyat dihasut agar membenci para pejuang. Pihak Belanda dengan sengaja menyiarkan berita bohong, bahwa Ki Wakhia dan para pengikutnya adalah pemberontak‑pemberontak kejam yang sering melakukan perampokan dan menganiaya penduduk. Oleh sebab itu, tak sedikit penduduk yang termakan isyu dan berbalik membenci para pejuang. Akhirnya, banyak penduduk yang membantu pihak Belanda. Secara diam‑diam, penduduk yang termakan hasutan, menunjukkan tempat persembunyian para pejuang yang tengah dicari pasukan Belanda.
Akal busuk yang dilancarkan pihak Belanda dalam usahanya memadamkan gejolak perlawanan rakyat. Tentu saja, sudah bisa diramalkan hasilnya. Beberapa kepala desa yang secara sembunyi‑sembunyi menyokong perjuangan Ki Wakhia, serta ratusan pejuang lainnya yang turut terlibat perang Gudang Batu kedua, dengan mudah ditawan pasukan Belanda. Tiga orang pemimpin perlawanan rakyat seperti, Lurah Nasid, Mas Diad, dan Mas Derik, menjalani hukuman diasingkan ke Ternate. 12 pejuang dibuang ke Ambon, dan 130 orang pejuang diasingkan ke Banda. Sedangkan banyak pejuang lainnya yang ditangkap pihak Belanda, diganjar dengan hukuman yang amat berat

You Might Also Like

0 komentar